Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Alat penguji napas koronavirus
Alat deteksi COVID-19 menggunakan napas atau disebut juga breathlyzer virus korona adalah alat diagnostik yang dapat memungkinkan penggunanya untuk mendeteksi infeksi virus korona dalam tubuh manusia melalui analisis hembusan nafas. Sejak awal 2020, ide mengembangkan alat ini sudah dijalankan oleh pelbagai negara (walau tidak saling bekerja sama) seperti Indonesia, Amerika Serikat, Belanda, Finlandia, Jerman, Israel, Inggris, Australia, dan Kanada.
Latar Belakang
Beberapa orang yang telah menjalani tes usap untuk pengujian virus corona pasti tidak akan menganggapnya sebagai pengalaman yang menyenangkan. Prosedur ini menusukkan kapas panjang ke atas hidung untuk mengumpulkan sampel dari bagian belakang hidung dan tenggorokan, yang kemudian dianalisis untuk mengetahui adanya SARS-CoV-2 dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Selain tidak nyaman, standar emas pengujian COVID-19 saat ini membutuhkan RT-PCR, prosedur laboratorium yang memakan waktu. Karena banyaknya sampel yang harus diuji, untuk bisa mendapatkan hasil bisa memakan waktu beberapa hari. Sehingga, untuk mengurangi tingkat penularan dan kematian, sistem perawatan kesehatan memerlukan tes yang lebih cepat, murah dan mudah digunakan.
Cara Kerja
Alat ini mirip dengan tes breathalyzer yang digunakan untuk mendeteksi keracunan alkohol. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa virus dan sel yang mereka infeksi mengeluarkan senyawa organik yang mudah menguap (VOC) yang dapat dihembuskan melalui napas.
Para peneliti membuat susunan nanopartikel yang sensitif terhadap berbagai VOC. Ketika VOC berinteraksi dengan molekul pada nanopartikel, hambatan listrik pada alat akan berubah. Para peneliti kemudian melatih sensor untuk mendeteksi COVID-19 dengan menggunakan pembelajaran mesin yang akan membandingkan pola sinyal hambatan listrik yang diperoleh dari napas pasien COVID-19 dengan napas dari sampel. Dari hasil perbandingan tersebut, pembelajaran mesin akan mengidentifikasi potensi adanya COVID-19. Semakin mirip maka semakin besar probabilitas sampel memiliki SARS-CoV-2. Meskipun tes seperti ini perlu divalidasi pada lebih banyak pasien, metode seperti ini bisa berguna untuk menskrining populasi besar untuk menentukan individu mana yang membutuhkan pengujian lebih lanjut.
Negara-negara pengembang
Indonesia
Sejak April 2020, tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengembangkan breathalyzer bernama GeNose C19. GeNose C19 dapat digunakan sebagai alat skrining non-invasif yang dapat mengeluarkan hasil dalam waktu kurang dari dua menit. Uji coba alat ini dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid Bambanglipuro di Yogyakarta. GeNose C19 terdiri dari sensor gas dan sistem pengenalan pola berbasis kecerdasan buatan. Uji diagnostik tersebut dilakukan atas kerjasama sembilan rumah sakit multisenter.
Pada akhir Desember 2020, GeNose C19 mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan Indonesia . Awalnya, 100 unit akan dirilis. Dengan setiap unit diperkirakan akan mampu melakukan 120 tes per hari. Ujian ini diperkirakan menghabiskan biaya 15.000–25.000 rupiah. Setiap tes akan membutuhkan waktu tiga menit untuk ujinya dua menit lagi untuk membuahkan hasil, sehingga dibutuhkan total waktu 5 menit. Para peneliti berharap dapat memproduksi hingga 1.000 unit GeNose C19, sehingga meningkatkan kapabilitas testing di Indonesia hingga 120 ribu sampel per hari. Selain itu, mereka menargetkan untuk memproduksi 10.000 unit pada Februari 2021.
Belanda
Tes deteksi napas dari Breathomix dengan nama SpiroNose sudah dikembangkan dan digunakan dengan kolaborasi bersama Pusat Medis Universitas Leiden, Fransiscus Gasthuis dan Vlietland. Perangkat telah beroperasi dalam test drive-in sejak April 2021.
Finlandia
Pada akhir Juni 2020, Forum Virium Helsinki, bekerja sama dengan firma perangkat lunak Finlandia Deep Sensing Algorithms, yang didanai oleh Dewan Regional Helsinki-Uusimaa, mengumumkan bahwa pengujian perangkat mereka telah dimulaidi Kazakhstan, dengan rencana untuk memperluas penelitian tersebut ke Belanda, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Brasil, dan Finlandia sepanjang musim panas. Akurasi perangkat yang dibuat oleh Forum Virium Helsinki / Deep Sensing Algorithms ini sangat bergantung pada komponen AI-nya. "Kami terlibat dalam kerja sama inovatif dengan pihak swasta untuk mengatasi krisis virus korona, dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan digitalisasi," kata CEO Forum Virium Helsinki, Mika Malin.
Jerman
Pada bulan Maret 2020, perusahaan Singapura RAM Global melakukan penelitian di Jerman dengan tujuan untuk mengembangkan tes breathalyzer yang dapat mendeteksi SARS-CoV-2 dalam waktu satu menit menggunakan spektroskopi domain waktu terahertz. Perusahaan berusaha mengembangkan paket uji sekali pakai untuk deteksi partikel virion COVID-19 dalam sampel napas, air liur, dan usap. Pada 31 Maret, RAM Global menyelesaikan studi klinis awal pada pasien di University Hospital Saarland. Pada bulan April, perusahaan melakukan studi pada dokter rumah sakit untuk menguji keakuratan dalam membedakan sampel positif dan negatif. Perusahaan menamai platform produknya ThEA, atau Terahertz Express Analyzer.
Israel
Di Israel, pengembangan breatyhalyzer sedang berlangsung di laboratorium fotonika yang dipimpin oleh Gabby Sarusi, profesor di Universitas Ben-Gurion Negev, pada pertengahan musim panas 2020. Selain Gabby Sarusi, pada Juli 2020 dilaporkan bahwa perusahaan baru Israel, Nanoscent yang bekerja sama dengan Sheba Medical Center, telah merancang breathalyzer. Magen David Adom (MDA) berusaha untuk memasukan alat ini ke dalam sistem pengujian drive-thru yang ada di seluruh negeri.
Gabby Sarusi saat ini sedang mengajukan hak kekayaan intelektual yang masih dipertanyakan kepada pengadilan di Israel.
Australia
Di Australia, CEO dari perusahaan GreyScan, Samantha Ollerton, dan Profesor Michael Bradmore dari Universitas Tasmania mengembangkan breathalyzer menggunakan teknologi yang sebelumnya digunakan sebagai alat deteksi peledak.
Amerika Serikat
Pada bulan Juni 2020, peneliti Amerika di UCLA dan Ohio State University menerima hibah untuk menguji konsep breathalyzer virus corona, yang salah satunya dapat membuahkan hasil dalam 15 detik. Alat ini mengambil senyawa tertentu dari napas subjek yang disampel untuk mendeteksi virus corona. “Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat skrining yang murah, dapat disebar luas dengan mudah, dan dapat dengan cepat mendeteksi penyakit pernapasan dan ancaman virus yang menyebar lewat udara,” kata Prof. Pirouz Kavehpour dari UCLA Henry Samueli School of Engineering and Applied Science, yang tim penelitinya menerima hibah penelitian selama satu tahun senilai $150.000 dari National Science Foundation.
Kanada
Canary Health Technologies, yang berkantor pusat di Toronto sedang mengembangkan breathalyzer dengan nanosensor sekali pakai yang menggunakan analisis berbasis cloud yang didukung AI. Menurut siaran pers, uji klinis dari alat ini dimulai di India selama bulan November 2020. Tujuan dari perusahaan ini adalah untuk mengembangkan alat skrining yang akurat dengan harga terjangkau yang dapat digunakan di mana saja dan dapat memberikan hasil dalam waktu kurang dari satu menit. Perusahaan ini menyatakan bahwa menganalisis senyawa organik yang mudah menguap dalam napas manusia memiliki potensi untuk mendeteksi penyakit sebelum gejala muncul, sehingga dapat mendeteksi infeksi lebih awal dari metode yang tersedia saat ini. Apalagi, teknologi berbasis cloud yang dimiliki perusahaan ini memang dirancang untuk digunakan sebagai alat deteksi penyakit.