Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Amfoterisin B
Nama sistematis (IUPAC) | |
---|---|
(1R,3S,5R,6R,9R, 11R,15S,16R,17R,18S,19E,21E, 23E,25E,27E,29E,31E,33R,35S,36R,37S)- 33-[(3-amino- 3,6-dideoksi- β-D-mannopiranosil)oksi]- 1,3,5,6,9,11,17,37-oktahidroksi- 15,16,18-trimetil- 13-okso- 14,39-dioksabisiklo [33.3.1] nonatriakonta- 19,21,23,25,27,29,31-heptaena- 36-asam karboksilat | |
Data klinis | |
Nama dagang | Fungizone, Mysteclin-F, lainnya |
AHFS/Drugs.com | monograph |
Kat. kehamilan | B(US) |
Status hukum | Rx-only, di rumah sakit |
Rute | Intravena (hanya infus lambat) |
Data farmakokinetik | |
Bioavailabilitas | 100% (IV) |
Metabolisme | ginjal |
Waktu paruh | fase awal : 24 jam, fase kedua : sekitar 15 hari |
Ekskresi | 40% ditemukan di urin setelah kumulasi beberapa hari bilier |
Pengenal | |
Nomor CAS | 1397-89-3 Y |
Kode ATC | A01AB04 A07AA07, G01AA03, J02AA01 |
PubChem | CID 14956 |
DrugBank | DB00681 |
ChemSpider | 10237579 Y |
KEGG | D00203 Y |
ChEBI | CHEBI:2682 Y |
ChEMBL | CHEMBL267345 Y |
NIAID ChemDB | AIDSNO:000096 |
Data kimia | |
Rumus | C47H73NO17 |
Massa mol. | 924,091 g/mol |
SMILES | eMolecules & PubChem |
| |
Data fisik | |
Titik lebur | 170 °C (338 °F) |
Amfoterisin B adalah obat antijamur yang digunakan untuk mengobati infeksi jamur berat dan leismaniasis. Amfoterisin B efektif untuk mengobati infeksi jamur seperti aspergilosis, blastomikosis, kandidiasis, koksidioidomikosis, dan kriptokokosis. Untuk beberapa jenis infeksi, amfoterisin B diberikan bersamaan dengan flusitosin. Obat ini diberikan secara intravena.
Efek samping yang umum terjadi antara lain demam, menggigil, dan sakit kepala setelah obat diberikan, serta gangguan ginjal. Gejala alergi seperti anafilaksis dapat terjadi. Efek samping berat lainnya antara lain hipokalemia dan miokarditis. Amfoterisin B relatif aman digunakan pada pasien hamil. Terdapat formulasi dengan lipid yang memiliki risiko efek samping lebih rendah. Obat ini termasuk dalam kelas poliena dan bekerja dengan merusak membran sel jamur.
Amfoterisin B diisolasi dari Streptomyces nodosus pada tahun 1955 dan mulai digunakan sebagai obat pada tahun 1958. Obat ini terdapat dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia. Obat ini tersedia dalam bentuk generik. Biaya pengobatan dengan obat ini di negara berkembang pada 2010 sebesar 162-229 USD.
Indikasi
Antijamur
Indikasi utama amfoterisin B adalah untuk mengobati infeksi jamur sistemik. Karena efek sampingnya yang banyak, obat ini hanya digunakan pada pasien dengan infeksi yang berat, atau pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Obat ini digunakan sebagai terapi lini pertama untuk infeksi mukormikosis invasif, meningitis kriptokokus, dan infeksi aspergillus dan kandida tertentu. Obat ini masih sering digunakan walau dikembangkan pertama kali lima puluh tahun yang lalu karena kejadian resistensi terhadap obat ini yang rendah. Hal ini bisa terjadi karena agar suatu spesies bisa resisten terhadap amfoterisin B, organisme tersebut memerlukan pengorbanan pada bagian terpenting dari organisme tersebut sehingga akan lebih rentan dan terlalu lemah untuk menyebabkan infeksi.
Antiprotozoa
Amfoterisin B umum digunakan pada infeksi protozoa seperti leismaniasis viseral dan naegleriasis.
Spektrum kepekaan
Tabel berikut menunjukkan kepekaan amfoterisin B dari berbagai spesies jamur yang sering menginfeksi manusia.
Spesies |
Kadar Penghambatan Minimum
(Minimum Inhibitory Concentration/MIC) (mg/L) |
---|---|
Aspergillus fumigatus | 1 |
Aspergillus terreus | Resisten |
Candida albicans | 1 |
Candida krusei | 1 |
Candida glabrata | 1 |
Candida lusitaniae | Resisten secara intrinsik |
Cryptococcus neoformans | 2 |
Fusarium oxysporum | 2 |
Formulasi yang tersedia
Intravena
Amfoterisin B tidak larut dalam larutan garam fisiologis pada pH 7. Oleh karena itu, dibuat beberapa formulasi untuk meningkatkan bioavailabilitas intravena. Formulasi amfoterisin B berbasis lipid tidak lebih efektif dibandingkan formulasi konvensional, walau terdapat bukti bahwa formulasi berbasis lipid memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Deoksikolat
Formulasi awal menggunakan natrium deoksikolat untuk meningkatkan kelarutan. Amfoterisin B deoksikolat (AmBD) diberikan secaraintravena. Formulasi ini sering disebut sebagai amfoterisin "konvensional".
Liposom
Agar pasien dapat menggunakan amfoterisin B dengan aman dengan efek samping yang lebih rendah, telah dikembangkan formulasi lain yang berbasis lipid. Berdasarkan hasil uji klinis, amfoterisin B dengan formulasi liposom memiliki toksisitas pada ginjal yang lebih rendah dibandingkan deoksikolat, dan lebih sedikit kejadian reaksi setelah pemberian melalui infus. Formulasi ini memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan amfoterisin B deoksikolat.
AmBisome (LAmB) adalah amfoterisin B dengan formulasi liposom yang digunakan secara infus. Liposom dari formulasi tersebut terdiri dari campuran fosfatidilkolin, kolesterol dan distearoil fosfatidilgliserol yang dalam media air akan membentuk vesikel unilamelar mengandung amfoterisin B.
Kompleks lipid
Terdapat pula formulasi dalam kompleks lipid. Abelcet disetujui oleh FDA pada tahun 1995. Formulasi ini terdiri dari amfoterisin B dan dua lipid dalam perbandingan jumlah 1:1 yang membentuk struktur seperti pita besar. Amphotec adalah kompleks amfoterisin dan natrium kolestil sulfat dalam perbandingan jumlah 1:1. Dua molekul tersebut membentuk tetramer yang teragregasi menjadi untaian spiral pada kompleks seperti cakram. Formulasi tersebut disetujui oleh FDA pada tahun 1996.
Oral
Hingga saat ini, belum terdapat sediaan amfoterisin B yang dapat diminum. Kelarutan dan permeabilitasnya yang rendah membuat pengembangan amfoterisin B yang bisa diminum menjadi sukar mengingat bioavailabilitasnya yang rendah. DUlu, amfoterisin B digunakan untuk infeksi jamur pada permukaan saluran pencernaan seperti sariawan, tetapi sekarang telah digantikan oleh antijamur lain seperti nistatin dan flukonazol.
Efek samping
Amfoterisin B dikenal karena efek sampingnya yang berat dan mengancam jiwa. Salah sati efek samping yang sangat sering terjadi adalah reaksi segera setelah infus (dalam 1 sampai 3 jam). Reaksi tersebut terdiri dari demam tinggi, menggigil kedinginan, hipotensi, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dispnea dan takipnea, rasa kantuk, dan rasa lemah.
Penggunaan amfoterisin B walau dalam rentang indeks terapeutik dapat menyebabkan kegagalan organ multipel. Kerusakan ginjal merupakan efek samping yang sering dilaporkan. Kerusakan ginjal tersebut bisa bersifat berat dan/atau ireversibel. Penggunaan formulasi liposom (seperti AmBisome) dapat menurunkan kejadian kerusakan ginjal dan telah menjadi pilihan bagi pasien dengan gangguan ginjal. Bentuk liposom tersebut akan berubah setelah berikatan dengan dinding sel jamur dan akan melepaskan amfoterisin B. Namun pada sel mamalia, bentuk liposom tersebut tidak berubah, sehingga mampu mengurangi amfoterisin B yang berinteraksi dengan sel di ginjal dan efek nefrotoksik yang dihasilkan lebih sedikit.
Selain itu efek samping tersebut, gangguan kadarelektrolit seperti hipokalemia dan hipomagnesemia juga sering terjadi.
Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol, komponen membran sel jamur. Setelah itu, amfoterisin B membentuk pori-pori yang menyebabkan kebocoran ion monovalen dengan cepat (K+, Na+, H+ dan Cl-), sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Mekaninsme tersebut merupakan mekanisme utama amfoterisin B sebagai antijamur. Kompleks amfoterisin B/ergosterol yang membentuk pori-pori tersebut bersifat stabil karena adanya interaksi Van der Waals. Amfoterisin B juga menyebabkan stres oksidatif dalam sel jamur, tetapi masih belum diketahui sejauh mana stres oksidatif ini mempengaruhi efektivitas obat.
Mekanisme toksisitas
Baik membran sel mamalia dan jamur memiliki sterol, target utama bagi amfoterisin B. Karena membran mamalia dan jamur memiliki kemiripan dalam hal struktur dan komposisi, amfoterisin B memiliki efek samping yang berat. Amfoterisin B dapat membentuk pori-pori di membran inang serta membran jamur. Kerusakan membran inilah yang membuat amfoterisin B memiliki efek samping yang mengancam jiwa. Ergosterol yang merupakan komponen membran sel jamur memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap amfoterisin B dibandingkan kolesterol yang merupakan komponen membran sel mamalia. Reaktivitas dengan membran juga bergantung pada konsentrasi sterol.
Pemberian amfoterisin dibatasi oleh reaksi setelah infus. Hal ini diduga karena produksi imun bawaan dari sitokin proinflamasi.