Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Archaeol
Archaeol merupakan salah satu dari lipid membran utaman yang dimiliki archaea. Ditinjau dari lipid membrannya, keberadaan archaeol yang memainkan peranan penting ini merupakan salah satu karakter utama yang membedakan archaea dengan bakteri dan eukarya. Karenanya archaeol digunakan sebagai salah satu penanda biologis yang mengidentifikasi aktivitas archaea kuno, terutama untuk kelompok metanogen.
Archaeol memiliki rantai samping yang sangat bercabang. Struktur percabangan tersebut diperkirakan memiliki hubungan erat terhadap permeabilitas membran berbasis archaeol yang diketahui sangat rendah. Keuntungan yang diperoleh dari sifat ini bag archaea adalah kemampuannya untuk beradaptasi di lngkungan ekstrim.
Nama | |
---|---|
Nama IUPAC
2,3-Bis(3,7,11,15-tetramethylhexadecoxy)propan-1-ol
| |
Nama lain
Archaeol lipid; 2,3-Di-O-phytanyl-sn-glycerol; 2,3-Bis[(3,7,11,15-tetramethylhexadecyl)oxy]-1-propanol
| |
Penanda | |
Model 3D (JSmol)
|
|
3DMet | {{{3DMet}}} |
Nomor EC | |
MeSH | archaeol+lipid |
PubChem CID
|
|
Nomor RTECS | {{{value}}} |
CompTox Dashboard (EPA)
|
|
| |
Sifat | |
C43H88O3 | |
Massa molar | 653,17 g·mol−1 |
Kecuali dinyatakan lain, data di atas berlaku pada temperatur dan tekanan standar (25 °C [77 °F], 100 kPa). | |
Y verifikasi (apa ini YN ?) | |
Referensi | |
Kimia
Salah satu lipid dieter yang umum ditemukan pada kelompok archaea adalah archaeol. Lipid ini membedakannya dengan domain kehdupan lainnya, bakteri dan eukarya. Molekul 2,3-di-O-phytanyl-sn- glycerol, dengan dua rantai phytanyl yang terhubung ke posisi sn-2 dan sn-3 dari gliserol adalah salah satu archaeol standar yang dketahui. Hubungan tersebut terjadi oleh katan eter.Keberadaan struktur 2,3-sn-glycerol dan ikatan eter tersebut merupakan dua perbedaan utama dari lipid archaea. Sebagai pembanding, lipid bakteri dan eukarya yang umumnya memiliki 1,2-sn-glycerol. Dibandingkan dengan ikatan eter, kebanyakan lipid bakteri dan eukarya dihubungkan oleh ikatan ester. Archaeol di alam memiliki konfigurasi 3R, 7R, 11R pada tiga pusat kiral dalam rantai isoprenoid-nya. Selain itu terdapat empat variasi struktural yang berkontribusi terhadap kompleksitas fungsi serta sifat dari lipid membran tersebut. Kedua rantai phytanyl dapat membentuk struktur 36-member ring yang disebut sebagai archaeol makrosiklik. Archaeol terhidroksilasi memiliki rantai phytanyl terhidroksilasi pada posisi atom karbon tersier pertama. Archaeol sesterterpanyl memiliki rantai samping phynatyl dengan rantai sesterterpanyl C25 menggantikan C2 gliserol atau di kedua atom karbon. Sementara itu, archaeol tak jenuh memiliki kerangka karbon yang sama dengan archaeol standar namun dengan satu atau beberapa ikatan rangkap dalam rantai samping phytanyl.
Sebuah caldarchaeol (gliserol dialkyl glycerol tetraether, atau GDGT) dapat terbentuk dari dua molekul archaeol yang terlibat hubungan head-to-head. GDGT adalah salah satu lipid tetraeter yang paling umum yang dapat ditemukan pada archaea. Berikut ditampilkan beberapa struktur dari archaeol dan sintesinya.
Peran biologis dan sintesis
Peran biologis
Hingga sejauh ini archaeol telah ditemukan pada semua archaea yang berhasil ditemui di alam dan telah dianalisis, setidaknya dalam sejumlah jejak. Temuan ini menunjukkan archaeol mewakili 100% dari lipid inti dieter di sebagian besar neutrophilichalophiles dan sulfur-dependent thermophiles (meskipun sebagian besar lipid intinya adalah lipid tetraeter). Metanogen mengandung hidroksiarchaeol dan makrosiklik selain dari archaeol standar. Archaeol yang mengandung rantai sesterterpanyl merupakan karakteristik dari halofil ekstrim alkalifilik. Perlu dicatat bahwa lipid tetraeter juga banyak terdapat pada archaea.
Liposom dari archaea umumnya menunjukkan permeabilitas yang sangat rendah terhadap molekul dan ion (termasuk proton). Permeabilitas ion yang diinduksi oleh ionofor (transporter ion yang melintasi membran) juga cukup rendah. Level permeabilitas ini hanya sebanding dengan fosfatidilkolin telur (komponen membran biologis yang sangat umum) pada kondisi temperatur 37˚C ketika suhu naik hingga mencapai 70˚C. Dibandingkan dengan bakteri dan eukarya, rantai samping isoprenoid archaeol sangat bercabang. Perbedaan struktural ini diyakini mengakibatkan penurunan permeabilitas archaea pada seluruh interval suhu pertumbuhan sel yang memungkinkan archaea beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim.
Proses sintesis
Archaeol biasanya ditemukan sebagai fosfolipid dalam sel archaea. Jalur sintetik dari archaeol fosfolipid jenuh berlangsung sebagai berikut: sintesis rantai samping isoprenoid dengan hubungan head-to-tail dari isopren, hubungan eter ke tulang punggung gliserol-1-fosfat, pembentukan archaeol CDP, ikatan gugus kepala kutub dan saturasi ikatan ganda. Setelahnya, lipid tetraeter dapat disintesis dengan reaksi dimerisasi melalui hubungan head-to-head.
Rantai isoprenoid archaea memiliki jalur biosintetik yang berbeda dibandingkan dengan bakteri dan eukarya. Unit C5 isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP) adalah prekursor untuk isoprenoid. Prekursor ini bersifat universal untuk ketiga domain kehidupan tersebut. Dua senyawa tersebut umumnya disintesis dalam bakteri melalui jalur 2-C-metil-D-eritritol 4-fosfat/1-deoksi-D-xilulosa 5-fosfat (jalur MEP / DOXP). Sementara itu keduanya disintesis melalui jalur mevalonat (MVA) pada kebanyakan eukarya. Sintesis IPP dan DMAPP pada archaea mengikuti jalur MVA alternatif yang berbeda dari jalur MVA klasik dalam tiga langkah terakhir.
Lipid eter pada bakteri
Archaeol yang telah dianggap sebagai penanda biologis yang meyakinkan untuk archaea menunjukkan masalah ketika lipid membran eter juga telah ditemukan pada beberapa bakteri aerob dan anaerob, termasuk lipid dengan satu ikatan ester dan satu ikatan eter dengan rantai alkil. Banyak kelompok bakteri yang bersifat sangat anoksik dan beberapa spesies aerobik mengandung plasmalogens (Pla). Plasmogens tersebut memiliki rantai alkil yang terikat pada posisi sn-1 dari gliserol melalui ikatan vinil-eter. Kondisi ini mirip dengan archaea dan lipid ini dianggap meningkatkan resistivitas bakteri terhadap lingkungan yang merugikan. Yang lebih mengejutkan adalah penemuan lipid dialkil gliserol dieter nonisoprenoid (DGD) dan lipid dialkil gliserol tetraeter bercabang (brGDGT). Kedua lipid tersebut dibentuk dengan cara yang mirip archaeol dengan mengikat rantai alkil (tetapi bukan rantai isoprenoid) ke molekul gliserol melalui ikatan eter. Lipid ini berbeda dari lipid eter archaea hanya untuk rantai samping dan posisi pengikatan pada gliserol saja. Kemudian, DGD dilaporkan telah ditemui juga dalam bakteri termofilik, beberapa bakteri mesofilik, dan myxobacteria.
Digunakan sebagai lipid biomarker
Archaeol yang terdapat dalam sedimen umumnya berasal dari hidrolisis fosfolipid membran archaea selama proses diagenesis. Karena potensi preservasinya yang tinggi, lipid ini sering dideteksi dan digunakan oleh ahli geokimia organik sebagai biomarker untuk mendeteksi aktivitas archaea, terutama untuk uji biomassa dan aktivitas metanogen. Sebagai proksi metanogen, di kesempatan lain lipid ini digunakan oleh Michinari Sunamura et al. untuk secara langsung mengukur metanogen dalam sedimen yang terdapat di Tokyo Bay, dan selanjutnya digunakan oleh Katie LH Lim et al. sebagai indikator metanogenesis pada sampel tanah yang jenuh air. Selain itu, CA McCartney dkk. menggunakannya sebagai proxy untuk produksi metana pada sapi.
Sementara itu, archaeol juga digunakan untuk membantu memahami biogeokimia purba. Misalnya oleh Richard D. Pancost et al. yang menggunakannya sebagai biomarker untuk merekonstruksi biogeokimia Holosen di lahan gambut ombrotrofik. Sebuah studi pada kesempatan lain yang dipimpin oleh Ian D. Bull et al. juga menunjukkan penggunaan archaeol sebagai biomarker untuk mengungkap perbedaan antara sistem pencernaan fermentasi pada bagian foregut dan hindgut mamalia herbivora purba.
Selain itu, karena perbedaan kinetika degradasi dari archaeol dan caldarchaeol yang utuh, rasio archaeol dan caldarchaeol diusulkan sebagai proxy salinitas di danau untuk dataran tinggi. Rasio tersebut dimanfaatkan menjadi alat untuk studi paleosalinitas bagi beberapa peneliti.
Archaeol dapat terhidrolisis dalam beberapa kasus, dengan rantai sampingnya dipreservasi sebagai phytane atau pristane, tergantung kondisi redoksnya.
Pengukuran
Dalam rangka menganalisis kandungan archaeol, lipid biasanya harus diekstraksi melalui prosedur Bligh-Dyer tradisional. Prosedur diikuti oleh fraksinasi (dengan kromatografi kolom atau lapisan tipis) dan derivatisasi. Proses serupa yang melibatkan acid Bligh dan ekstraksi Dyer, perlakuan asam dan derivatisasi, juga diusulkan oleh kelompok peneliti seperti Kazuhiro Demizu dkk. dan Sadami Ohtsubo et al.
Teknologi seperti kromatografi biasanya digunakan ntuk mampu menentukan konsentrasi archaeol dalam sebuah sampel. Salah satunya termasuk high-performance liquid chromatography (HPLC), Kromatografi gas (GC), dan supercritical fluid chromatography (SFC).Spektrometri massa (MS) sering digunakan untuk membantu identifikasi pada banyak kasus.
Lihat juga
- Diacylglycerol
- Caldarchaeol