Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Hipertensi paru
Hipertensi paru | |
---|---|
Diagram yang mengilustrasikan hipertensi paru | |
Informasi umum | |
Nama lain | Hipertensi arterial paru, hipertensi pulmonal |
Spesialisasi | Pulmonologi, kardiologi |
Penyebab | Multifaktor |
Faktor risiko | Riwayat keluarga, emboli paru, HIV/AIDS, penyakit sel sabit, penggunaan kokain, penyakit paru obstruktif kronis, apnea tidur, tinggal di daerah ketinggian, kehamilan, jenis kelamin |
Awal muncul | Usia 20 hingga 60 |
Durasi | Kronis |
Diagnosis | Kateterisasi jantung kanan |
Perawatan | Terapi pendukung, terapi spesifik, transplantasi paru |
Pengobatan | Epoprostenol, treprostinil, iloprost, bosentan, ambrisentan, macitentan, sildenafil |
Hipertensi paru atau hipertensi pulmonal adalah kondisi peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah arteri yang berasal dari jantung menuju paru-paru yang menyebabkan jantung sebelah kanan bekerja lebih keras. Gejala yang timbul adalah gejala khas yang akan ditemukan pada seseorang dengan gagal fungsi jantung kanan yaitu sesak napas, napas pendek atau terputus-putus, nyeri dada, mudah lelah saat beraktivitas, batuk, pusing hingga pingsan. Riwayat dalam keluarga, jenis kelamin, kehamilan, tinggal di daerah ketinggian, konsumsi beberapa jenis obat, serta penyakit seperti emboli paru, HIV/AIDS, penyakit sel sabit, penyakit jantung bawaan, penyakit paru obstruktif kronis, dan apnea tidur merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi paru.
Pengobatan yang diberikan untuk hipertensi paru tergantung kepada penyakit atau kondisi lain yang menyertainya. Terapi obat spesifik untuk hipertensi paru adalah golongan antagonis kalsium, antagonis reseptor endotel (endothelin receptor antagonist atau ERAs), penghambat fosfodiesterase tipe 5 (phosphodiesterase type 5 atau PDE5), dan stimulan siklase guanilat (guanylate cyclase stimulators atau GCSs), serta analog prostasiklin (prostaglandin I2 atau PGI2), dan agonis reseptor prostasiklin (agonist receptor prostacyclin). Terapi pendukungnya adalah antikoagulan, obat-obat diuretik, oksigen, obat jantung seperti digoksin, serta penanganan terhadap anemia jika ditemukan saat pemeriksaan. Selain terapi obat-obatan, ada pilihan terapi operatif yaitu septostomi atrium, tromboendarterektomi paru, dan transplantasi paru.
Hipertensi paru pada wanita setelah masa pubertas 1,7 hingga 1,9 kali lebih banyak dibanding pria. Biasanya penyakit ini menyerang mereka yang berusia 20 hingga 60 tahun, tetapi prevalensi tertinggi ada pada usia 20 hingga 40 tahun. Tingkat kejadian hipertensi paru tidak dipengaruhi oleh ras atau etnis. Penyakit ini merupakan penyakit langka dengan prevalensi secara global adalah 6,6 hingga 26 kasus per 1 juta orang dewasa. Penderita hipertensi paru yang tidak ditangani dapat bertahan hidup sekitar 2,8 hingga 3 tahun. Penyakit ini tidak bisa sembuh dan penderitanya harus mengonsumsi obat seumur hidup.
Definisi
Arteri pulmonalis adalah pembuluh darah yang bertanggung jawab untuk membawa darah dari jantung ke paru-paru. Seseorang didiagnosis menderita hipertensi paru bila memiliki nilai tekanan arteri pulmonalis rata-rata (TAPr) ≥ 20 mmHg, dengan nilai normal TAPr adalah 14 ± 3,3 mmHg. Penilaian tekanan arteri pulmonalis dilakukan melalui prosedur kateterisasi jantung kanan dan kriteria ini berlaku sama untuk orang dewasa dan anak-anak.
Definisi hipertensi paru tersebut berlaku sejak tahun 2018. Definisi sebelumnya adalah peningkatan TAPr ≥ 25 mmHg dalam kondisi istirahat atau ≥ 30 saat beraktivitas, dengan tekanan kapiler paru rata-rata serta tekanan akhir diastol ventrikel kiri jantung kurang dari 15 mmHg. Nilai normal TAPr dalam kondisi istirahat adalah 14 ± 3 mmHg dengan batas normal tingginya di angka 20 mmHg. Perubahan kriteria ini disebabkan adanya perbedaan gambaran klinis pada seseorang dengan TAPr antara 20-25 mmHg dari berbagai hasil laporan kasus di seluruh dunia. Ada yang sudah merasakan sesak napas, tetapi ada juga yang masih dalam kondisi sehat tanpa keluhan apa pun.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada penderita hipertensi paru terjadi karena penyempitan pembuluh darah dari jantung yang menuju ke paru-paru sehingga darah sulit untuk lewat. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam arteri pulmonalis akan meningkat. Dalam waktu yang lama, hal ini akan menyebabkan pembesaran jantung sebelah kanan. Beban kerja yang berlebih dan pembesaran jantung kanan akan menyebabkan berkurangnya kemampuan jantung kanan untuk memompa darah ke paru-paru.
Kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui nilai TAPr dilakukan dengan cara memasukkan kateter yang terhubung dengan monitor untuk memandu dan mengukur tekanan di dalam pembuluh darah. Kateter masuk melalui vena femoralis yang terletak di daerah selangkangan dan menyusur ke arah atas menuju sisi kanan jantung.
Gejala dan tanda
Gejala (keluhan yang dirasakan penderita) dan tanda klinis (yang didapatkan saat pemeriksaan fisik) penderita hipertensi paru tidak bersifat spesifik (karena dapat ditemukan pada penyakit paru dan jantung yang lain), timbul secara perlahan-lahan dan dalam intensitas ringan. Gejala ringan ini dirasakan selama berbulan-bulan hingga tahunan sebelum seseorang mulai merasa terganggu. Hal ini yang sering menyebabkan keterlambatan dalam penentuan diagnosis dan penanganan serta memperburuk prognosisnya.
Gejala
Gejala utama hipertensi paru adalah sesak napas. Napas penderita hipertensi paru menjadi lebih cepat dan pendek. Untuk kebutuhan oksigen yang sama, dibutuhkan tarikan napas yang lebih banyak dan cepat agar bisa mengakomodasi kebutuhan normal. Hal ini dipicu oleh aliran darah yang tersumbat yang menyebabkan transportasi dan pertukaran oksigen terganggu sehingga oksigen yang beredar dalam pembuluh darah pun tidak maksimal. Penderita hipertensi paru juga mudah lelah saat beraktivitas. Aktivitas apa pun memerlukan oksigen sebagai sumber energi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan saat sedang istirahat. Jumlah oksigen yang terganggu akibat sumbatan arteri pulmonalis menyebabkan otot-otot pernapasan bekerja lebih banyak sehingga mudah terasa lelah.
Beberapa orang akan merasakan pusing, mengeluh nyeri dada yang timbul akibat peningkatan tekanan di jantung dan arteri pulmonalis, serta mengalami prasinkop atau perasaan seperti akan pingsan; ini adalah fase lanjut dari kurangnya oksigen ke kepala. Suara serak akibat penekanan saraf di daerah leher (saraf laring rekuren) juga dikeluhkan meskipun jarang terjadi. Batuk terus-menerus yang membuat penderita terjaga sepanjang malam kemungkinan merupakan tanda gagal jantung.
Gejala prasinkop yang tidak diatasi akan berkembang dan menyebabkan seseorang pingsan. Hal ini terjadi karena otak kehilangan pasokan oksigen dalam jumlah yang cukup besar secara tiba-tiba. Selain batuk kering, beberapa orang juga akan mengeluarkan darah saat batuk (hemoptisis) karena pecahnya pembuluh darah kecil paru yang melebar. Gejala ini jarang terjadi, tetapi merupakan hal yang serius. Gejala lain yang dikeluhkan penderita hipertensi paru adalah nafsu makan berkurang dan nyeri perut kanan atas. Penderita hipertensi paru juga dapat mengalami letargi atau disebut juga somnolen, yaitu kondisi ketika seseorang mengantuk dan tidur sepanjang hari. Saat dibangunkan penderita masih bisa memberikan respons, tetapi mereka dengan cepat akan kembali tertidur. Berbeda dengan pingsan yang terjadi karena berkurangnya pasokan oksigen dalam jumlah besar secara tiba-tiba, letargi terjadi karena oksigen berkurang dalam jumlah kecil tetapi terjadi terus menerus.
Tanda
Salah satu tanda klinis yang ditemukan saat pemeriksaan fisik adalah jari tabuh (clubbing finger).Edema tungkai juga dapat terjadi dan diakibatkan oleh kelebihan cairan di jantung kanan sehingga cairan kembali ke sirkulasi sistemik. Cairan yang kembali ke sirkulasi sistemik ini juga yang menyebabkan perut membesar terisi air (asites). Selain cairan, perut membesar juga dapat disebabkan oleh pembesaran hati atau keduanya. Pada penderita hipertensi paru juga akan didapatkan sianosis akibat rendahnya kadar oksigen di dalam pembuluh darah. Selain itu, salah satu dampak berkurangnya aliran darah ke jaringan adalah sindrom Raynaud, yang dapat diamati pada jari-jari tangan, kaki, telinga, dan ujung hidung. Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan pula denyut jantung yang cepat (palpitasi) dan/atau tidak teratur (aritmia) akibat kompensasi untuk mengejar kebutuhan oksigen yang tidak tercukupi.
Pada kondisi lanjut, akan timbul pulsasi (denyutan) ventrikel kanan yang terlihat dan teraba di daerah parasternal kiri (daerah di sebelah kiri tulang dada) yang berarti telah terjadi hipertrofi (pembesaran) ventrikel kanan. Pada pemeriksaan auskultasi, akan terdengar bunyi jantung S2 yang terpisah cukup jauh dengan bunyi jantung S1, yang berarti ada penundaan aktivasi listrik dari ventrikel kanan. Selain itu, akan didapati bunyi komponen P dari S2 yang terjadi karena adanya peningkatan tekanan di dalam arteri akibat lumen pembuluh darah yang menyempit. Tanda hipertensi paru lainnya adalah suara ejeksi klik pulmonalis, yakni bunyi yang terjadi saat pembukaan maksimal katup aorta atau katup pulmonalis (katup antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) karena dilatasi (pelebaran) aorta atau dilatasi arteri pulmonalis.
Pemeriksaan pada penderita hipertensi paru juga akan menemukan bunyi jantung S3 gallop pada ventrikel kanan. Bunyi jantung S3 adalah bunyi jantung yang normal terdengar pada anak-anak atau atlet yang terlatih, tetapi pada orang dewasa hal ini adalah tanda awal dari gagal jantung. Beberapa penderita akan memperdengarkan bunyi murmur regurgitasi katup trikuspidal atau murmur pansistolik. Bunyinya meningkat saat inspirasi dan menurun saat ekspirasi (ini dikenal dengan istilah tanda Carvallo) yang terjadi karena dilatasi ventrikel kanan. Selain murmur pansistolik, murmur lain yang akan terdengar adalah murmur dekresendo (bunyi tambahan jantung yang kekuatan bunyinya menurun) yang melemah saat diastolik (fase relaksasi ventrikel setelah kontraksi) awal. Murmur ini juga disebut murmur Graham Steell. Sebagian besar penderita akan memperlihatkan distensi vena jugularis, akibat peningkatan tekanan vena jugularis yang timbul karena adanya kegagalan ventrikel kanan memompa darah ke paru-paru.
Gejala hipertensi paru bisa berbeda antara satu individu dengan individu lainnya, begitu juga dengan tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. Namun, terdapat lima tanda yang menunjukkan bahwa hipertensi paru yang seseorang derita sudah termasuk berat. Lima tanda yang harus dievaluasi tersebut adalah sesak napas saat sedang beristirahat, curah jantung rendah dengan tanda asidosis metabolik, hipoksemia, tanda gagal fungsi jantung kanan (distensi vena jugularis, edema tungkai, hepatomegali), dan pingsan.
Komplikasi
Komplikasi hipertensi paru adalah aritmia yang terjadi akibat jantung kanan yang bekerja lebih keras dalam memompa darah. Lama-kelamaan hal ini akan mengakibatkan kelemahan jantung sehingga impuls listriknya tidak bekerja dengan baik. Pembesaran jantung kanan sendiri dapat berujung pada gagal fungsi jantung. Hal ini biasa disebut cor pulmonale atau masalah jantung yang timbul akibat masalah di paru-paru. Seseorang dengan hipertensi paru juga bisa mengalami komplikasi penggumpalan darah, pendarahan pada paru-paru dengan manifestasi batuk darah, serta kerusakan fungsi hati.
Penyebab dan klasifikasi
Hipertensi paru dapat disebabkan oleh berbagai hal. Maka dari itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat sistem klasifikasi hipertensi paru yang didasarkan pada penyebabnya. Klasifikasi WHO ini pertama kali dibuat pada tahun 1973 di Jenewa, Swiss, saat Simposium Hipertensi Paru WHO yang pertama. Sistem klasifikasi ini berturut-turut mengalami revisi. Revisi kedua dikeluarkan tahun 1998, yang ketiga tahun 2003, yang keempat tahun 2008, yang kelima tahun 2013, dan yang keenam tahun 2018.
Pada awalnya penyakit ini dibagi atas dua kategori, yaitu hipertensi paru primer jika penyebabnya diketahui dan hipertensi paru sekunder bila penyebabnya tidak diketahui. Namun, dengan perkembangan teknologi kedokteran dalam hal pencitraan medis, pemahaman mekanisme patofisiologi, dan teknologi penanda molekuler, diketahui ada beberapa keadaan pada hipertensi paru primer yang ditemukan pada hipertensi paru sekunder. Hal ini menyebabkan klasifikasi terbaru yang dibuat WHO tidak lagi didasarkan pada penyakit yang berhubungan dengan hipertensi paru, tetapi berdasarkan mekanisme terjadinya.
Klasifikasi terbaru hipertensi paru dirilis dalam European Heart Journal volume 43 nomor 38 pada tanggal 7 Oktober 2022.
Grup 1: Hipertensi arteri paru
- Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
- tidak memberikan respons terhadap tes vasoreaktivitas
- memberikan respons terhadap tes vasoreaktivitas
- Diwariskan (genetik)
- Ditimbulkan oleh obat atau toksin
- Hipertensi paru yang berhubungan dengan
- penyakit jaringan ikat,
- infeksi HIV,
- hipertensi portal,
- penyakit jantung bawaan, dan
- skistosomiasis
- Hipertensi paru dengan gambaran keterlibatan vena atau kapiler yang jelas (penyakit vena oklusif paru/hemangiomatosis kapiler paru)
- Sindrom hipertensi paru persisten pada bayi baru lahir
Grup 2: Hipertensi paru karena penyakit jantung kiri
- Gagal jantung
- dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) yang menetap
- dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) yang berkurang atau ringan
- Penyakit katup jantung
- Penyakit kardiovaskular bawaan atau dapatan yang mengarah pada hipertensi kapiler paru
Grup 3: Hipertensi paru karena penyakit jantung dan atau hipoksia
- Penyakit paru obstruktif atau emfisema
- Penyakit paru restriktif
- Penyakit paru dengan bentuk campuran obstruktif dan restriktif
- Sindrom hipoventilasi
- Hipoksia tanpa penyakit paru (misalnya di ketinggian)
- Penyakit paru bawaan
Grup 4: Hipertensi paru karena obstruksi arteri pulmonalis
- Hipertensi paru tromboembolik kronis
- Obstruksi arteri pulmonalis lainnya
Grup 5: Hipertensi paru dengan mekanisme yang belum jelas atau karena penyebab multifaktor
- Penyakit hematologi
- Penyakit sistemik
- Penyakit metabolik
- Penyakit gagal ginjal kronis dengan atau tanpa cuci darah
- Tumor paru dengan mikroangiopati trombotik
- Mediastinitis fibrosis
Selain klasifikasi WHO tersebut, beberapa gen juga diketahui bertanggung jawab menyebabkan hipertensi paru, yaitu bone morphogenic protein receptor type 2 (BMPR2), bone morphogenic protein receptor type1B2 (BMPR1B2), mothers against decapentaplegic homolog 9 (SMAD9), caveolin 1 (CAV1), potassium channel subfamily K member 3 (KCNK3), dan eukaryotic translation initiation factor 2 alpha kinase 4 (EIF2AK4).
Ada beberapa hal yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya hipertensi paru selain penyakit yang disebutkan dalam klasifikasi WHO yaitu jenis kelamin, kehamilan, tinggal di tempat ketinggian, serta kondisi medis yaitu apnea tidur dan penyakit sel sabit.
Patofisiologi
Hipertensi paru ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam arteri pulmonalis akibat penyempitan diameter pembuluh darah. Respons jantung (terutama ventrikel kanan) terhadap hipertensi paru adalah dengan meningkatkan pompanya agar darah bisa melewati pembuluh darah yang menyempit. Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan pembesaran otot ventrikel kanan, kelemahan fungsi yang dapat mengakibatkan gagal fungsi, dan bahkan kematian.
Dalam hipertensi paru, ada banyak penyakit yang bisa menyebabkan berkurangnya diameter arteri pulmonalis. Interaksi berbagai senyawa kimia menyebabkan terjadinya vasokonstriksi (penyempitan lubang pembuluh darah) dan vasodilasi (pelebaran lubang pembuluh darah). Dua mekanisme utama yang umum pada hipertensi paru adalah peningkatan tahanan vaskular paru dan peningkatan tekanan di dalam vena paru.
Mekanisme umum
Peningkatan tahanan vaskular paru
Peningkatan tahanan ini terjadi karena rusaknya dinding pembuluh darah, vasokonstriksi patologis atau keduanya, dan perubahan bentuk dinding pembuluh darah. Perubahan bentuk ini disebabkan oleh banyak faktor seperti vasokonstriksi endotel (yang disebabkan karena aktivitas tromboksan dan endotelin-1 yang bersifat sebagai vasokonstriktor), proliferasi (pertumbuhan dan pertambahan sel yang cepat), hipertrofi (pembesaran), dan peradangan kronis pada otot polos pembuluh darah. Selain karena kerusakan pembuluh darah, adanya penyumbatan juga dapat menyebabkan peningkatan tahanan vaskular dan kerusakan endotel yang mengaktivasi proses pembekuan darah. Keadaan ini akan bertambah berat karena adanya penurunan aktivitas aktivator plasminogen yang timbul karena disfungsi platelet, aktivitas inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan kadar fibrinopeptida A yang tinggi.
Peningkatan tekanan vena paru
Mekanisme yang lain adalah peningkatan tekanan vena pulmonalis yang sering kali disebabkan oleh penyakit yang menyerang jantung sebelah kiri dan meningkatkan tekanan di ventrikel kiri. Akibat beban yang berlebih, tekanan di dalam vena pulmonalis juga meningkat. Hal ini menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah kapiler. Dalam jangka panjang, membran dinding pembuluh darah kapiler juga dapat mengalami penebalan yang tidak bisa diperbaiki.
Kombinasi vasokonstriksi pembuluh darah paru, trombosis lokal, dan perubahan bentuk (remodelling) dinding arteri pulmonalis adalah mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tahanan pembuluh darah paru dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
Mekanisme molekuler
Pada awal terjadinya hipertensi paru, peningkatan tekanan arteri pulmonalis akan menyebabkan terjadinya trombosis arteriopati pulmonal (penyakit arteri pulmonalis akibat penyumbatan lumennya oleh bekuan darah). Karakteristiknya adalah trombosis in situ pada otot polos arteri pulmonalis. Pada kondisi lanjut, trombosis in situ ini berkembang menjadi arteriopati fleksogenik pulmonalis (penyakit arteri pulmonalis yang memberikan gambaran plexiform atau bentuk jaring pada pemeriksaan histopatologis) yang ditandai dengan fibrosis pada lapisan tunika intima pembuluh darah yang berbentuk konsentris dan penebalan lapisan tunika media pembuluh darah, yang akan menggantikan struktur endotel arteri pulmonalis yang normal. Gambaran patologi hipertensi paru dikelompokkan dalam tiga subtipe, yaitu arteriopati fleksogenik primer, arteriopati tromboemboli (penyakit pembuluh darah karena sumbatan oleh bekuan darah), dan penyumbatan vena pulmonalis. Arteriopati fleksogenik primer merupakan bentuk kapiler pulmonal yang tidak beraturan (bukan lagi bentuk anatomis aslinya). Arteriopati tromboemboli ditandai dengan fibrosis lapisan tunika intima pembuluh darah dan trombosis in situ. Arteriopati ini ada dua bentuk: tromboemboli makro yang biasanya ditemukan pada hipertensi paru sekunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen pembuluh darah, serta tromboemboli mikro dengan trombus di bagian distal (ujung) pembuluh darah yang hanya menyumbat pembuluh darah kecil. Penyumbatan vena pulmonalis adalah bentuk yang jarang ditemukan; keadaan ini disebabkan oleh penipisan lapisan tunika intima pembuluh darah vena pulmonalis.
Ketidakseimbangan efektor vaskular
Jalur prostasiklin (PGI2) dan tromboksan A2. Senyawa prostasiklin bersifat vasodilator kuat dan senyawa tromboksan A2 bersifat vasokonstriktor kuat. Keduanya diproduksi oleh sel endotel dari asam arakidonat melalui proses yang disebut prostasiklin sintase dan siklooksigenase. Ikatan prostasiklin dengan reseptor spesifik I-prostanoid (IP) akan mengaktifkan enzim siklase adenilat. Enzim ini berperan mengubah adenosina trifosfat (ATP) menjadi adenosina monofosfat siklik (cAMP) sehingga terjadi relaksasi otot polos yang akan menyebabkan vasodilasi. Prostasiklin akan menghambat agregasi platelet (keping darah), menurunkan proliferasi otot polos, serta menghasilkan efek antitrombosis dan antiinflamasi. Pada penderita hipertensi paru, jalur siklooksigenase yang seharusnya seimbang antara prostasiklin dan tromboksan A2 akan lebih cenderung ke jalur tromboksan A2 sehingga yang terjadi adalah hal sebaliknya: agregasi (berkumpulnya) platelet, vasokonstriksi, dan proliferasi. Kecenderungan ini akan menyebabkan produksi prostasiklin penderita hipertensi paru mengalami penurunan, begitu juga dengan ekspresi reseptor prostasiklin dan sintase prostasiklin.
Jalur endotelin-1. Endotelin-1 adalah senyawa vasokonstriktor kuat yang dihasilkan oleh membran sel endotel. Endotelin-1 mengaktifkan ETA dan ETB, dua pasangan reseptor protein-G yang ditemukan di sel otot polos pembuluh darah. ETA yang ditemukan di sel otot polos vaskular akan menyebabkan vasokonstriksi, hipertrofi, proliferasi, migrasi sel, dan fibrosis. ETB yang ada di otot polos vaskular akan mengakibatkan vasokonstriksi, sedangkan ETB yang ada di permukaan endotel akan mengaktifkan nitrogen monoksida dan produksi prostasiklin dan menyebabkan vasodilasi dan antiproliferasi. Pada penderita hipertensi paru, terjadi peningkatan ekspresi ETA dan ETB di otot polos namun ekspresi ETB di permukaan endotel mengalami penurunan.
Nitrogen monoksida (NO). Senyawa nitrogen monoksida dihasilkan di sel endotel oleh enzim eNOS (endothelial nitric oxide synthase) dari reaksi oksidasi L-arginin menjadi L-sitrulin oleh NADPH (nikotinamida adenina dinukleotida hidrogen fosfat) dan kofaktor lainnya. NO ini akan mengalami difusi ke sel otot polos pembuluh darah paru dan berikatan dengan enzim siklase guanilat. Ini akan menyebabkan perubahan molekul guanosin trifosfat menjadi guanosin monofosfat siklik (cGMP). cGMP ini akan mengaktifkan enzim protein kinase dependen-cGMP yang akan menyebabkan vasodilasi. Nitrogen monoksida akan menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah paru, agregasi platelet, dan trombosis. Pada penderita hipertensi paru, penurunan kadar nitrogen monoksida akan merangsang hal yang sebaliknya.
Serotonin (5-hidroksitriptamina). Peran serotonin dalam hipertensi paru adalah sebagai vasokonstriktor yang meningkatkan hipertrofi (pertambahan ukuran otot) dan hiperplasia (pembesaran organ atau jaringan karena peningkatan reproduksi sel) sel otot polos.
Peptida intestinal vasoaktif (VIP). Hormon VIP merupakan vasodilator kuat yang bekerja menghambat aktivasi platelet dan proliferasi sel otot polos.
Faktor pertumbuhan endotel vaskular (FPEV). Pada keadaan hipoksia, produksi FPEV akan meningkat dan merangsang respon angiogenik (proses pembentukan pembuluh darah baru) yang abnormal.
Faktor lingkungan
Hipoksia. Secara sistemik, kondisi hipoksia merangsang timbulnya vasodilasi pada pembuluh darah sistemik tetapi menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Efek ini sebagian diregulasi oleh endotelin dan serotonin dan sebagian lagi oleh aktivitas kanal ion pada otot polos arteri paru. Hipoksia akut menyebabkan perubahan sifat vaskular, sedangkan hipoksia kronis menginduksi perubahan bentuk pembuluh darah, proliferasi dan migrasi otot polos pembuluh darah, serta peningkatan deposisi matriks vaskular.
Anoreksigen. Anoreksigen adalah obat menyebabkan seseorang kehilangan nafsu makan dan menekan rasa lapar. Obat anoreksigen seperti aminoreks dapat menyebabkan hipertensi paru melalui mekanisme peningkatan kadar serotonin yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah. Anoreksigen melepaskan neurotransmiter 5-HT (5-hidroksitriptamin) dari platelet dan menghambat penyerapan ulangnya kembali ke platelet dan sel permukaan endotel. Konsentrasi 5-HT akan meningkat dan efeknya diperpanjang dengan cara menghambat oksidase monoamin B. Anoreksigen juga merupakan penghambat kanal kalium dengan cara menyebabkan depolarisasi membran kanal dan meningkatkan pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma sehingga menyebabkan vasokonstriksi.
Genetik
Secara genetik, patofisiologi terjadinya hipertensi paru disebabkan melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme yang berperan di dalam jalur reseptor TGF-β dan jalur reseptor serotonin.
Jalur reseptor TGF-β. Gen yang berhubungan dengan famili reseptor TGF-β (transforming growth factor beta) dalam hal stimulasi kejadian hipertensi paru adalah bone morphogenetic protein receptor tipe 2 (BMPR2), dengan cara mengatur pertumbuhan sel pembuluh darah melalui aktivasi jalur Smad dan LIM (Lin-11, Isl-1 dan protein Mec-3) kinase dan ikatan ligan. Ligan untuk reseptor TGF-β adalah TGF-β, protein morfogenetik tulang, dan aktivin. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya efek inhibisi terhadap BMP yang mengatur pertumbuhan dan proliferasi endotel dan otot polos pembuluh darah paru. BMPR2 juga menstimulasi angiogenesis dengan meningkatkan angiopoietin-1 yang akan meningkatkan kadar TIE2 (reseptor angiopoietin). Peningkatan kadar TIE2 akan menurunkan kadar BMPR1A yang akan meningkatkan faktor pertumbuhan SMAD9 sehingga terjadi proliferasi sel yang berlebihan serta perubahan bentuk pembuluh darah. Mutasi yang lain adalah mutasi activin receptor-like kinase 1 (ALK1). Dalam kondisi normal, ikatan TGF-β dengan ALK-1 menurunkan respon proliferasi endotel yang diatur oleh ikatan TGF-β dengan ALK-5. Saat terjadi mutasi, proliferasinya menjadi tidak terkendali.
Jalur serotoninergik. Secara genetik, penyebab terjadinya hipertensi paru ada pada gen yang berhubungan dengan protein pengangkut serotonin, yang disebut juga 5-HTT (5-hydroxytryptamin transporter) atau SERT (serotonin transporter). Varian alelik-L dari gen 5-HTT terkait dengan peningkatan pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah. Keadaan hipoksia pada penderita hipertensi paru akan menyebabkan peningkatan ekspresi 5-HT2B (bagian dari 5HT2 yang mengikat neurotransmiter 5HT). Saat ekspresi 5-HT2B meningkat, akan terjadi peningkatan pelepasan serotonin melalui pengangkut serotonin, yang berujung pada proliferasi sel dan perubahan bentuk pembuluh darah paru.
Diagnosis
Penegakan diagnosis hipertensi paru tidak bisa dilakukan hanya dengan anamnesis (pemeriksaan riwayat kesehatan) dan pemeriksaan fisik yang paling teliti sekalipun. Hal ini dikarenakan gejalanya yang bersifat sangat umum dan menyerupai gejala penyakit paru atau gangguan jantung. Penegakan diagnosis penyakit ini diawali dari asumsi atau kecurigaan setelah menyingkirkan berbagai penyakit yang memberikan gambaran klinis yang serupa. Ada banyak pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum memastikan seseorang menderita penyakit hipertensi paru. Selain untuk menentukan diagnosis, pemeriksaan dengan menggunakan berbagai alat bantu diagnostik pada hipertensi paru juga bertujuan untuk mengetahui penyakit yang mendasari kondisi ini menurut klasifikasi WHO 2018.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Dugaan yang kuat, anamnesis yang teliti, serta pemeriksaan fisik yang akurat adalah hal yang utama saat mencurigai seseorang menderita hipertensi paru. Pertanyaan yang harus diajukan ketika anamnesis adalah riwayat keluhan yang sama dalam keluarga, riwayat konsumsi dan penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama sebelumnya, riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit lain yang pernah dan sedang diderita, serta informasi domisili. Gejala yang paling sering dirasakan adalah sesak dan/atau mudah lelah saat beraktivitas yang dulu tidak pernah dirasakan, napas pendek, pusing, nyeri dada, penglihatan mendadak gelap sampai pingsan, dan batuk. Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung beratnya kondisi penyakit. Dari inspeksi bisa ditemukan jari tabuh, sianosis, sindrom Raynaud, edema tungkai, asites, dan pulsasi vena jugularis. Dari palpasi bisa didapatkan hepatomegali (pembesaran hati), pulsasi ventrikel kanan, dan takikardia pada perabaan pembuluh darah di tangan. Dari auskultasi bisa didapatkan takiaritmia, bunyi jantung S2 yang terpisah jauh, bunyi jantung S3, bunyi komponen P dari S2, ejeksi klik pulmonal, murmur regurgitasi trikuspidal, dan murmur Graham Steell.
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dilakukan untuk menilai kelainan impuls listrik di jantung. Dari pemeriksaan ini kemungkinan akan didapatkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan yaitu deviasi aksis kanan, R > S di V1 dan gelombang R prekordial yang tinggi, blok berkas cabang kanan inkomplet (incomplete RBBB) dan kelainan irama jantung. Tidak jarang juga hasil EKG memberikan hasil normal untuk seseorang yang positif menderita hipertensi paru.
Foto toraks
Foto toraks dilakukan untuk melihat pembesaran ventrikel kanan yang kadang disertai dengan pembesaran atrium kanan, jaringan parut (fibrosis interstisiel paru), pelebaran hilus, dan tanda pelebaran arteri pulmonalis. Selain itu, foto toraks dipakai untuk melihat penyakit paru yang bisa menyebabkan hipertensi paru seperti emfisema paru.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah tidak bisa dipakai untuk diagnosis hipertensi paru, tetapi bisa menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dan mengidentifikasi penyakit yang menyebabkan hipertensi paru. Pemeriksaannya meliputi panel metabolik lengkap untuk melihat fungsi ginjal dan hati; tes autoantibodi seperti antibodi antinuklir, faktor reumatoid, antibodi antikardiolipin, laju endap darah untuk penyaringan penyakit autoimun; tes tirotropin untuk melihat kelainan tiroid; pemeriksaan petanda HIV; pemeriksaan gas darah untuk melihat konsentrasi oksigen di dalam arteri; serta hitung darah lengkap untuk melihat kemungkinan infeksi, peningkatan hemoglobin, dan anemia. Pemeriksaan peptida natriuretik tipe B dan N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP) yang merupakan petanda adanya kegagalan jantung juga dapat dilakukan mengingat kadar NT-proBNP penderita hipertensi paru akan mengalami peningkatan. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial. Analisis gas darah juga dapat dilaksanakan untuk menilai beratnya keadaan hipoksia dan menyingkirkan asidosis sebagai penyebab hipertensi paru. Hasil analisis gas darah akan menunjukkan penurunan tekanan parsial oksigen alveolar (PaO2) dengan tekanan parsial karbondioksida alveolar (PaCO2) yang meningkat atau normal.
Tes fungsi paru dan tes berjalan 6 menit
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kadar oksigen dalam darah, jumlah udara yang dapat ditampung oleh paru-paru, dan kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen, serta untuk mengidentifikasi penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pemeriksaan tes fungsi paru dilakukan dengan menggunakan spirometri. Walaupun hasil kapasitas difusi paru penderita hipertensi paru bisa menunjukkan hasil yang normal, tetapi sebagian besar kapasitas difusi paru terhadap karbon dioksida sudah mengalami penurunan. Selain itu, tes sederhana berupa tes berjalan 6 menit dapat dilakukan untuk melihat toleransi seseorang terhadap aktivitas.
Polisomnografi
Pemeriksaan polisomnografi (disebut juga oksimetri nokturnal) bertujuan untuk mengetahui kondisi hipoksemia nokturnal (penurunan kadar oksigen dalam darah pada malam hari saat seseorang sedang tidur) dan apnea tidur. Hal ini karena prevalensi dua kondisi ini pada penderita hipertensi paru sekitar 70-80%. Hasil yang didapatkan adalah kadar oksigen yang berkurang pada malam hari.
Ultrasonografi jantung (ekokardiografi)
Pemeriksaan ultrasonografi jantung akan memberikan data tentang fungsi ventrikel, abnormalitas katup, dan perkiraan tekanan arteri pulmonalis. Dari pemeriksaan ini akan didapatkan pembesaran ventrikel, regurgitasi katup trikuspidal, efusi perikardium, rasio ukuran basal ventrikel kiri dan kanan yang > 1, dilatasi ruang jantung sebelah kanan dengan gangguan pengisian ventrikel kiri, dan pergerakan paradoks septum interventrikel. Ekokardiografi Doppler akan memberikan perkiraan tekanan sistolik arteri pulmonalis dengan cara menghitung kecepatan aliran sistolik yang melewati katup pulmonalis atau aliran balik pada katup trikuspidal.
Sidik ventilasi-perfusi paru (skintigrafi)
Skintigrafi bertujuan untuk melihat bekuan darah atau fibrosis yang menyumbat di sepanjang pembuluh darah. Bahan radioaktif dalam jumlah kecil dihirup dan sejumlah dosis kecil lainnya disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Skintigrafi juga digunakan untuk membedakan hipertensi paru akibat emboli dengan yang nonemboli. Kelemahan pemeriksaan ini adalah diharuskannya pemaparan pasien terhadap ion radiasi. Kelebihannya adalah dapat menjadi dasar untuk melakukan angiografi paru saat diketahui adanya tromboemboli.
Tomografi terkomputasi resolusi tinggi dan angiografi paru
Kombinasi pencitraan dengan tomografi terkomputasi resolusi tinggi dan angiografi paru akan memberikan gambaran parenkim paru, morfologi jantung, dan pembuluh darahnya. Penderita hipertensi paru akan memperlihatkan gambaran dilatasi ventrikel, dilatasi atrium kanan, serta pelebaran arteri pulmonalis (diameter di atas 29 mm) atau rasio aorta asendens ≥ 1.
Pencitraan resonansi magnetik jantung
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat abnormalitas dinding pembuluh darah, volume ventrikel, dan fraksi ejeksi. Sirkulasi paru bahkan dapat dinilai dengan menggunakan angiografi resonansi magnetik gadolinium tiga dimensi. Kelebihan alat ini dibandingkan dengan sidik ventilasi-perfusi adalah tidak ada radiasi yang digunakan. Namun, alat ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat dilakukan pada orang yang memiliki alat pacu jantung atau besi di dalam tubuhnya.
Ultrasonografi abdomen
Seperti halnya pemeriksaan darah, pemeriksaan ini dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis melainkan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab hipertensi paru. Tujuannya untuk penetapan klasifikasi. Pemeriksaan ini dilakukan unntuk melihat ada tidaknya hipertensi portal.
Kateterisasi jantung kanan dan tes vasoreaktivitas
Pemeriksaan kateterisasi jantung kanan adalah standar utama diagnosis hipertensi paru karena merupakan satu-satunya pemeriksan yang akan memberikan nilai tekanan arteri pulmonalis yang akurat dan aktual. Pemeriksaan ini biasanya dilengkapi dengan tes vasoreaktivitas untuk menentukan bagaimana respons pembuluh darah terhadap pemberian antagonis kalsium. Tes vasoreaktivitas ini menggunakan vasodilator mekanisme kerja cepat seperti inhalasi nitrogen oksida, epoprostenol intravena, atau adenosin intravena. Seseorang dikatakan memiliki hasil positif jika setelah pemberian obat ini terjadi vasodilasi arteri pulmonalis dan penurunan tekanan arteri pulmonalis setidaknya 10 mmHg (untuk pasien dengan TAP yang kurang dari 40 mmHg) dan peningkatan curah jantung.
Pemeriksaan genetika
Pemeriksaaan genetika dilakukan bila ada riwayat penyakit teleangiektasia hemoragik herediter baik yang diderita oleh pasien atau merupakan riwayat dalam keluarga. Pemeriksaannya adalah penyaringan untuk mutasi gen BMPR2. Bila hasil BMPR2 negatif, dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk gen ACVRl1 dan ENG. Bila hasilnya masih negatif, dilanjutkan dengan pemeriksaan KCNK3 dan CAV1. Jika terdapat riwayat penyakit oklusi vena pulmonalis dan hemangiomatosis kapiler paru dalalm jumlah besar di keluarga, dilakukan pemeriksaan mutasi EIF2AK4.
Penatalaksanaan
Hipertensi paru adalah kondisi penyakit yang mengharuskan seseorang berobat seumur hidup. Penatalaksanaannya tergantung jenis hipertensi paru yang diderita sesuai dengan klasifikasi WHO 2018. Hingga kini, penyakit ini tetap belum bisa disembuhkan. Tujuan pemberian terapi adalah memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi risiko kematian. Strategi pengobatannya meliputi tiga tahapan. Tahap pertama adalah pendekatan umum dan terapi pendukung. Pendekatan umum adalah terapi tidak terkait obat-obatan yang membantu meringankan keluhan penderita, mencegah kemungkinan komplikasi dan perburukan kondisi, serta menangani segala aspek dalam kehidupan penderita. Terapi pendukung pada hipertensi paru berbeda-beda untuk tiap individu tergantung kepada klasifikasinya. Sebagai contoh, hanya penderita hipertensi paru yang disebabkan tromboemboli kronis yang akan diberikan obat pengencer darah (antikoagulan), sedangkan diuretik hanya diberikan untuk penderita yang bengkak. Sementara itu, strategi pengobatan yang kedua adalah terapi spesifik. Terapi spesifik ini bekerja langsung pada pembuluh darah paru. Strategi pengobatan yang ketiga adalah terapi kombinasi (menggabungkan beberapa obat dari terapi spesifik) hingga tindakan transplantasi paru jika pengobatan sebelumnya tidak menunjukkan hasil yang memadai.
Terapi umum
Aktivitas fisik dan pola hidup
Seseorang dengan hipertensi paru tidak direkomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik berlebih karena peningkatan kebutuhan oksigen akan meningkatkan tekanan di dalam arteri pulmonalis. Kegiatan yang menyebabkan sesak napas dan nyeri dada perlu dihindari. Mereka juga sangat dianjurkan untuk mengubah pola hidup dan pola makan, serta menjaga berat badan. Berat badan bukan hanya yang berhubungan dengan massa otot, tetapi juga kenaikan berat badan karena akumulasi cairan. Jumlah cairan yang masuk (air yang diminum) dan keluar (lewat urine) setiap hari harus dihitung volumenya. Pada penderita hipertensi paru dengan bengkak, dokter akan menganjurkan jumlah cairan yang masuk lebih kecil dibandingkan jumlah cairan yang keluar agar bengkak bisa dikurangi. Bengkak yang berkurang akan membantu meringankan kerja jantung. Pada penderita hipertensi paru yang tidak bengkak, jumlah cairan masuk dan cairan keluar juga tetap dihitung. Tujuannya untuk mencegah kenaikan berat badan dari akumulasi cairan. Kenaikan berat badan 2 pon (0,91 kg) per hari atau 5 pon (2,3 kg) dalam seminggu harus disikapi dengan serius. Penderita yang mengalami obesitas dianjurkan untuk menurunkan berat badan agar bisa meringankan beban pompa jantung. Mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol akan membantu mengurangi keluhan penderita. Penderita sangat dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang banyak mengandung kalium seperti pisang, yang mengandung magnesium seperti kacang-kacangan dan brokoli, serta memperbanyak buah, sayur, dan makanan yang berserat tinggi agar tidak sulit buang air besar. Aktivitas mengejan saat buang air akan meningkatkan kerja jantung. Penderita perlu membatasi konsumsi garam, karena garam (natrium) akan menahan cairan di dalam tubuh. Produk yang mengandung natrium tinggi adalah makanan yang diawetkan dengan metode pengasinan, makanan cepat saji, kerang, udang, makanan kaleng, dan minuman bersoda.
Kesehatan reproduksi wanita
Penderita hipertensi paru dianjurkan untuk menghindari kehamilan karena keberadaan janin meningkatkan sirkulasi darah sehingga akan memperberat kerja jantung. Selain itu, obat hipertensi paru golongan antagonis reseptor endotelin bersifat teratogenik, yang dapat memengaruhi perkembangan janin dan meningkatkan potensi bayi terlahir dengan kecacatan. Untuk mencegah kehamilan, penggunaan kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen tidak dianjurkan karena metabolit estrogen akan menyebabkan peningkatan remodelling (perubahan bentuk) pembuluh darah paru yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya hipertensi paru. Untuk hal ini, penderita diharuskan berkonsultasi dengan dokter kebidanan dan kandungan. Terapi hormonal pascamenopause sampai saat ini belum diketahui apakah memberikan efek samping atau tidak.
Tindakan bedah elektif
Tindakan bedah untuk seseorang dengan hipertensi paru memiliki risiko tinggi terutama yang mengonsumsi antikoagulan karena akan timbul komplikasi perdarahan. Bila tindakan operasi harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan, diperlukan tim dokter yang berpengalaman menangani kemungkinan komplikasi yang terjadi selama dan sesudah operasi.
Pencegahan infeksi
Untuk menurunkan risiko pneumonia (yang menyumbang angka sebesar 7% sebagai penyebab kematian pada penderita hipertensi paru), penderita dianjurkan tindakan vaksinasi untuk pneumonia pneumokokus dan influenza. Selain itu, infeksi saluran pernapasan akan meningkatkan frekuensi pernapasan yang akan memperberat kondisi penderita hipertensi paru. Vaksin flu berkala setiap tahun sangat dianjurkan pada penderita hipertensi paru.
Aspek psikososial
Penyakit hipertensi paru akan memberikan dampak terhadap seseorang dalam semua aspek kehidupan, baik secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis. Hal ini terkadang menimbulkan stres. Untuk meringankan hal ini, edukasi bahkan konseling tentang penyakit ini dapat diberikan kepada penderita, keluarga terdekat dan mereka yang hidup dengannya baik di lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Hal ini juga dapat dicapai dengan mengikuti grup atau asosiasi penderita hipertensi paru.
Panduan pengobatan
Panduan yang diberikan bertujuan agar penderita hipertensi paru tidak melewatkan obat atau mengurangi dosis obat yang diresepkan, dan tidak mengonsumsi obat yang lain (kimia dan herbal) untuk kondisi medis apa pun sebelum berkonsultasi dengan dokter yang merawatnya.
Perjalanan dan tempat ketinggian
Berada di ketinggian lebih dari 4.000 kaki (1.200 m) secara otomatis akan mengurangi konsentrasi oksigen di dalam darah hingga 25%. Karena itu, konsultasi dengan dokter yang merawat diperlukan untuk mengetahui risiko perjalanan dengan menggunakan pesawat. Untuk orang yang sehat, efek penurunan konsentrasi oksigen saat berada di dalam pesawat tidak akan memberikan keluhan yang berarti. Namun, bagi penderita hipertensi paru sedikit saja perubahan konsentrasi oksigen akan menimbulkan sesak, terutama dalam perjalanan yang memakan waktu lama. Hal ini juga berlaku bagi penderita yang berdomisili di dataran tinggi, karena penurunan konsentrasi oksigen.
Terapi pendukung
Obat antikoagulan
Obat antikoagulan atau pengencer darah diberikan untuk penderita hipertensi paru yang disebabkan oleh tromboemboli paru. Penderita dengan tromboemboli cenderung mudah terjadi penyumbatan oleh bekuan darah akibat aliran darah yang tidak lancar, apalagi karena penderita hipertensi paru dianjurkan untuk tidak boleh lelah, sehingga kurang beraktivitas. Warfarin dapat membantu menurunkan pembentukan bekuan darah dan terbukti mampu mengontrol hipertensi paru dan berperan dalam perbaikan klinis. Penggunaan obat ini senantiasa selalu dipantau risiko perdarahannya.
Diuretik
Obat-obat diuretik membantu mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh sehingga beban jantung memompa darah menjadi lebih ringan. Efek ini berbanding lurus dengan penurunan tekanan arteri pulmonalis. Kondisi cairan tubuh yang tidak berlebihan akan mengurangi keluhan sesak terutama pada penderita dengan keluhan bengkak. Diuretik yang digunakan adalah furosemida dan spironolakton. Agar tidak terjadi hipokalemia dan hiponatremia, penggunaan diuretik dibarengi dengan pemeriksaan elektrolit berkala serta pemberian preparat kalium.
Obat inotropik
Pemberian digoksin belum sepenuhnya diteliti efikasinya, tetapi dapat membantu memperbaiki pompa jantung penderita dengan gagal fungsi ventrikel kanan dengan cara menaikkan curah jantung.
Anemia dan zat besi
Defisiensi zat besi dan anemia adalah hal yang lazim pada penderita hipertensi paru dan memerlukan koreksi karena darah adalah alat angkut oksigen. Jumlahnya yang kurang dalam sirkulasi otomatis akan berdampak pada penurunan kadar oksigen dalam pembuluh darah. Untuk memperbaiki kondisi ini, dapat diberikan zat besi intravena karena penderita hipertensi paru sebagian besar mengalami gangguan penyerapan zat besi oral.
Terapi spesifik
Antagonis kalsium
Antagonis kalsium yang sering digunakan untuk mendapatkan efek vasodilasi pembuluh darah adalah nifedipin, diltiazem, dan amlodipin. Nifedipin dan amlodipin diberikan untuk penderita dengan denyut jantung yang cenderung rendah sedangkan diltiazem untuk yang denyut jantungnya cepat. Antagonis kalsium ini terutama memberikan hasil yang positif kepada penderita dengan tes vasoreaktivitas yang positif.
Antagonis reseptor endotelin
Endotelin-1 memberikan efek vasokonstriksi dan proliferasi terhadap sel otot polos pembuluh darah. Dengan pemberian antagonis reseptornya, maka proses ini akan dihambat. Obat yang biasa digunakan adalah ambrisentan, bosentan, dan macitentan. Ketiga obat ini memberikan efek peningkatan kemampuan aktivitas, mengurangi keluhan, dan memperbaiki hemodinamika penderita hipertensi paru. Namun, pemberiannya dalam jangka panjang perlu disertai dengan evaluasi fungsi hati. Bosentan diketahui meningkatkan enzim aminotransferase hati.
Penghambat fosfodiesterase tipe 5
Senyawa fosfodiesterase tipe 5 bertanggung jawab terhadap degradasi monofosfat guanosin siklik. Monofosfat guanosin siklik akan merelaksasi pembuluh darah dan memberikan efek vasodilasi. Dengan menghambat fosfodiesterase tipe 5, kadar monofosfat guanosin siklik akan meningkat. Obat golongan ini juga terbukti bersifat antiproliferatif. Ada tiga obat dari golongan ini yakni sildenafil, tadalafil, dan vardenafil. Ketiganya biasa digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi pada pria. Obat-obat ini terbukti memperbaiki keluhan hemodinamika penderita. Sildenafil dikonsumsi tiga kali sehari, tadalafil sehari sekali, dan vardenafil dua kali sehari. Ketiga obat ini memberikan efek samping nyeri kepala dan epistaksis.
Stimulator guanilat siklase
Stimulator guanilat siklase seperti riociguat bekerja dengan meningkatkan produksi monofosfat guanosin siklase. Obat ini juga memiliki efek antiproliferasi dan mencegah perubahan bentuk pembuluh darah. Pemberiannya tiga kali sehari dan tidak dianjurkan diberikan bersamaan dengan penghambat fosfodiesterase tipe 5. Efek samping pemberian obat ini adalah hipotensi.
Analog prostasiklin dan agonis reseptor prostasiklin
Prostasiklin merupakan vasodilator kuat. Pada penderita hipertensi paru, ekspresi sintase prostasiklin dan produksinya mengalami penurunan. Analog prostasiklin dan agonis reseptor prostasiklin bekerja dengan mekanisme yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu vasodilasi pembuluh darah. Analog prostasiklin bekerja dengan memberikan sifat yang sama dengan prostasiklin (menyebabkan vasodilasi pembuluh darah) sedangkan agonis reseptor prostasiklin bekerja dengan cara mengaktivasi reseptor prostasiklin yang juga akan menyebabkan vasodilasi. Obat analog prostasiklin adalah beraprost, treprostinil, epoprostenol, dan iloprost, sedangkan obat agonis reseptor prostasiklin adalah seleksipag. Epoprostenol hanya ada dalam sediaan intravena, iloprost sediaannya dalam bentuk inhalasi dan intravena, treprostinil memiliki empat bentuk sediaan (untuk pemberian subkutan, intravena, inhalasi, dan oral), sedangkan beraprost dan seleksipag hanya tersedia dalam bentuk oral. Efek samping golongan analog prostasiklin adalah nyeri kepala, nyeri pada rahang, dan diare.
Terapi operatif
Septostomi atrial
Prosedur ini membuat pirau interatrial (jalur untuk lewatnya darah antara atrium kanan dan atrium kiri, normalnya tidak ada hubungan antara kedua atrium) kanan ke kiri untuk mengurangi tekanan di dalam jantung kanan dan meningkatkan preload (tekanan ventrikel kiri yang menunjukkan peregangannya saat akhir diastol) ventrikel kiri dan curah jantung. Tindakan ini merupakan tindakan pendahuluan sebelum dilakukan transplantasi paru dan hanya bersifat paliatif dan tidak dianjurkan dilakukan pada penderita stadium terminal hipertensi paru yang saturasi oksigen istirahatnya di bawah 85%. Indikasi tindakan ini adalah individu yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan obat-obatan.
Tromboendarterektomi paru
Tromboendarterektomi paru adalah tindakan untuk penderita hipertensi paru dengan sumbatan trombus yang bertujuan untuk menyingkirkan bekuan darah dari dalam pembuluh darah. Tindakan ini merupakan tindakan dengan risiko tinggi.
Tranplantasi paru
Tindakan ini merupakan pilihan terakhir saat semua tindakan tidak memberikan efek yang diinginkan. Menurut pedoman European Society of Cardiology (ESC) tahun 2015, secara keseluruhan kesintasan 5 tahun pascaoperasinya tercatat sekitar 45 hingga 50% dengan perbaikan kualitas hidup, sedangkan data terbaru (berdasarkan publikasi tahun 2008 hingga 2012) menunjukkan kesintasan 5 tahunnya meningkat hingga 52 hingga 75% dan kesintasan 10 tahunnya 45 hingga 66%. Transplantasi yang dilakukan adalah transplantasi paru dan jantung, atau transplantasi kedua paru saja.
Prognosis
Prognosis hipertensi paru secara garis besar dipengaruhi oleh dua hal, yaitu parameter umum dan parameter medis. Parameter umum meliputi diagnosis dini, jenis hipertensi paru, penyakit lain yang seseorang derita, tingkat kepatuhan konsumsi obat, serta perbaikan pola hidup. Parameter medis yang menentukan prognosis hipertensi paru meliputi tingkat beratnya gagal jantung menurut klasifikasi New York Heart Association (NYHA), denyut jantung, jarak yang ditempuh saat pemeriksaan tes berjalan 6 menit, ada tidaknya efusi perikardium, hasil tekanan arteri pulmonalis rata-rata, tekanan atrium kanan, indeks jantung, volume sekuncup, dan saturasi oksigen. Mereka yang tingkat kepatuhannya tinggi dan memperbaiki gaya hidup bisa bertahan hingga sepuluh tahun. Penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Seseorang dengan hipertensi paru harus tergantung obat seumur hidupnya. Penderita hipertensi paru bisa bertahan 2,8 hingga 3 tahun tanpa pengobatan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Taiwan's National Health Insurance Database dengan 1.092 kasus hipertensi paru dari tahun 1999 hingga tahun 2011, tingkat mortalitas penderita hipertensi paru mengalami peningkatan pada mereka dengan usia lebih tua dan yang memiliki penyakit penyerta yang lain. Hipertensi paru yang terjadi akibat penyakit paru obstruksi kronis, hipertensi paru idiopatik, dan hipertensi paru akibat emboli adalah tiga jenis hipertensi paru dengan tingkat mortalitas paling tinggi.
Prognosis penyakit hipertensi paru juga dipengaruhi pendekatan yang diutamakan oleh dokter yang merawat. Dokter dapat mengutamakan pendekatan "pengobatan sesuai target", yang berarti mengobati hipertensi paru sesuai dengan faktor penyebabnya dan mengejar perbaikan hasil pemeriksaan NT-proBNP. Di sisi lain, dokter juga dapat menggunakan pendekatan "pengobatan yang berorientasi pada tujuan" yang mengutamakan perbaikan kualitas hidup apa pun penyebab penyakitnya.
Epidemiologi
Hipertensi paru pada wanita setelah masa pubertas tercatat 1,7 hingga 1,9 kali lebih banyak dibanding pria. Tingkat kejadian hipertensi paru tidak dipengaruhi oleh ras atau etnis. Secara global prevalensi hipertensi paru berkisar antara 6,6 hingga 26 kasus per 1 juta orang dewasa, sehingga penyakit ini termasuk penyakit langka. Hipertensi paru dapat menyerang mereka yang berumur 20 hingga 60 tahun, tetapi prevalensi tertinggi tampak pada usia 20 hingga 40 tahun.
Untuk grup I dalam klasifikasi WHO, insiden terendah untuk hipertensi paru secara keseluruhan adalah 15 kasus per 1.000.000 populasi penduduk, sedangkan untuk hipertensi paru idiopatik (salah satu cabang grup I) insidennya tercatat sebanyak 5,9 kasus per 1.000.000 populasi penduduk per tahunnya. Sementara itu, menurut sebuah publikasi pada 2012, sekitar 60% pasien dengan penyakit disfungsi sistolik (fase kontraksi ventrikel) di Spanyol mengidap hipertensi paru, sehingga menghasilkan tingkat prevalensi 3,2 kasus per 1.000.000 populasi dan insiden 0,9 kasus per 1.000.000 penduduk per tahun. Jumlah yang akurat dan yang dapat mewakili insiden, prevalensi, dan lamanya kesintasan untuk hipertensi paru secara global sampai saat ini masih sulit untuk diperoleh. Hal ini disebabkan karena pusat data untuk penyakit ini masih terbatas.
Sejarah
Pada tahun 1891, seorang dokter dan ahli patologi anatomi berkebangsaan Jerman, Erns von Romberg, menerbitkan hasil autopsi seorang pasien dengan gambaran yang memperlihatkan penebalan arteri pulmonalis tanpa disertai penyakit jantung atau paru yang menyebabkan kondisi tersebut. Ini adalah gambaran patologi yang khas untuk hipertensi paru pada kemudian hari. Romberg tidak mampu menentukan penyebab kondisi ini, sehingga dalam laporannya dia hanya menuliskannya sebagai sklerosis pembuluh darah paru. Ini merupakan pertama kalinya gambaran patologi hipertensi paru tercatat dan terpublikasikan.
Pada tahun 1901, penegakan diagnosis hipertensi paru mulai menemukan titik terang saat seorang profesor berkebangsaan Argentina di Fakultas Kedokteran Universitas Buenos Aires, Abel Ayerza, berhasil menemukan gambaran patologi arteri pulmonalis yang sama dengan milik Romberg. Bedanya, Ayerza mengetahui kondisi klinis pasiennya sebelum melakukan autopsi, yaitu sianosis, polisitemia, batuk, dan sulit bernapas. Temuan ini tidak pernah dipublikasikan oleh Ayerza, tetapi disampaikan saat memberikan kuliah. Ini adalah laporan resmi pertama untuk diagnosis yang kini disebut sebagai hipertensi paru.
Salah seorang mahasiswanya, F.C. Arrillaga, kemudian menyebutnya "sindrom Ayerza". Arrillaga juga yang menghubungkan gambaran patologis ini dengan penyakit endarteritis pulmonal karena sifilis pada tahun 1913. Selama lebih dari dua dasawarsa, teori Arrillaga ini tetap diyakini dan didukung oleh sejumlah penemuan yang sama di Amerika Selatan, Amerika Utara dan Eropa. Baru pada tahun 1935, teori ini berhasil dipatahkan oleh dr. Oscar Brenner, seorang dokter dari Birmingham, Inggris, yang saat itu sedang berada di Rumah Sakit Umum Massachussets sebagai rekanan untuk program pelatihan subspesialis Yayasan Rockefeller. Brenner memeriksa 100 kasus autopsi yang kini disebut hipertensi paru, dan menemukan bahwa hanya 25 kasus yang termasuk ke dalam kategori sindrom Ayerza. Brenner juga menarik kesimpulan bahwa temuan klinis dan patologis ini bukanlah suatu sindrom (kumpulan gejala) melainkan sebuah penyakit yang penamaannya membutuhkan penelitian lebih lanjut. Brenner juga menegaskan bahwa sifilis bukanlah penyebab kondisi ini. Namun, kapasitas Brenner sebagai seorang histopatologis membuatnya tidak mampu menghubungkan temuannya dengan temuan pembesaran jantung kanan dan berpikir bahwa ini adalah dua kondisi yang berdiri sendiri.
Selain temuan Brenner, perkembangan dalam penelitian tentang sirkulasi darah paru juga memegang peranan penting dalam sejarah hipertensi paru. Salah satunya adalah teknologi kateterisasi jantung oleh dr. Werner Forßmann pada tahun 1929 yang dikembangkan oleh dr. André F. Cournand dan dr. Dickinson W. Richards pada awal tahun 1940. Sebelum tahun 1946, persarafan daerah paru dianggap tidak memiliki atau hanya sedikit sekali berperan dalam sirkulasi darah paru. Percobaan yang dilakukan oleh Motley et al. menunjukkan bahwa paru-paru memiliki mekanisme regulasinya sendiri. Perkembangan teknologi kateterisasi jantung dan pengetahuan terbaru tentang regulasi paru inilah yang membuat dr. D.T. Dresdale, dr. Mitchtom, dan dr. Schultz melakukan penelitian lanjutan dan melaporkan tiga kasus hipertensi paru. Istilah "hipertensi paru primer" pun pertama kali digunakan dalam konteks ini.
WHO baru mencurahkan perhatian pada penyakit hipertensi paru setelah terjadinya epidemi kasusnya yang dipicu oleh obat aminoreks pada tahun 1965. Aminoreks adalah derivat katekolamin yang dipakai untuk menurunkan berat badan dengan cara menekan nafsu makan. Pertemuan untuk standardisasi data dan nomenklatur berdasarkan gambaran klinis dan patologis baru diadakan pada tahun 1973 di Jenewa, Swiss. Berturut-turut simposium WHO untuk hipertensi paru ini dilakukan lagi pada tahun 1998 di Évian-les-Bains, Prancis; tahun 2003 di Venesia, Italia; tahun 2008 di Dana Point, California; tahun 2013 di Nice, Prancis; dan yang terakhir tahun 2018 di Washington D.C., Amerika Serikat. Klasifikasinya mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dari yang sebelumnya didasarkan pada penyakit yang berhubungan dengan kejadian hipertensi paru menjadi berdasarkan mekanisme patofisiologinya. Sebelum simposium keenam di Amerika diadakan, pedoman kriteria diagnosis dan penatalaksanaan yang digunakan adalah klasifikasi Nice yang dimodifikasi oleh European Society of Cardiology (ESC) dan European Respiratory Society (ERS) yang disetujui dan disahkan oleh Association for European Paediatric and Congenital Cardiology (AEPC) dan International Society for Heart and Lung Transplantation (ISHLT) pada tahun 2015.
Catatan penjelas
Bacaan lanjutan
-
Hill, Nicholas S.; Farber, Harrison W. (2008). Pulmonary Hypertension. Boston: Springer Science & Business Media. ISBN 9781603270755. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - Maron, Bradley A.; Zamanican, Roham T; Waxman, Aaron B., ed. (2015). Pulmonary Hypertension Basic Science to Clinical Medicine. 1st. New York: Springer International Publishing. ISBN 9783319235936.
Pranala luar
Klasifikasi | |
---|---|
Sumber luar |
| |||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Arteri, arteriol dan kapiler |
|
||||||||||||||||
Vena |
|
||||||||||||||||
Arteri atau vena | |||||||||||||||||
Tekanan darah |
|
||||||||||||||||
ISPA (termasuk ISPA, Selesma) |
|
||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Saluran napas bawah/Penyakit paru |
|
||||||||||||||||||||||
Kavitas paru/ mediastinum |
|
||||||||||||||||||||||
Lainnya |