Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Kemasan makanan sekali pakai
Kemasan makanan sekali pakai terdiri dari bahan-bahan sekali pakai yang sering ditemukan di restoran makanan cepat saji, restoran makanan beli bawa pulang atau kios dan jasa boga. Bahan penyajian makanan tersebut juga ditujukan untuk piknik dan pesta. Produk penyajian makanan sekali pakai yang umum adalah tempat makan styrofoam, piring, mangkuk, cangkir, alat makan, dan tempat tatakan. Produk tersebut dapat terbuat dari sejumlah bahan yang meliputi plastik, kertas, bioresin, kayu, dan bambu.
Kemasan makanan cepat saji dan makanan beli bawa pulang melibatkan sejumlah besar bahan yang berakhir di tempat pembuangan akhir, daur ulang, penguraian atau dibuang begitu saja.
Pada saat ini, terdapat timbal balik terhadap sejumlah besar sampah buangan yang dihasilkan dari kemasan makanan sekali pakai khususnya kemasan plastik dengan para konsumen dituntut beralih ke kertas dan karton.
Sejarah
Pada 1908, Samuel J. Crumbine petugas kesehatan di Kansas melihat seorang penderita tuberkulosis yang berbagi minuman dengan orang lain menggunakan wadah yang sama dalam sebuah kereta api. Kejadian ini membuatnya khawatir sehingga ia meluncurkan kampanye untuk melarang penggunaan alat makan dan minum secara bergantian di tempat umum. Menyadari tren ini, Lawrence Luellen dan Hugh Moore membuat cangkir kertas sekali pakai yang disebut "health cup" yang kemudian berganti nama menjadi "Dixie Cup".
Setelah Perang Dunia II, bahan kemasan makanan seperti plastik dan busa polistirena mulai dikembangkan. Bahan-bahan ini memiliki sifat menahan panas dan beban yang baik, serta dapat dibentuk dengan mudah. Perkembangan pesat terjadi pada 1948, ketika restauran McDonald's yang baru didirikan menutup sementara gerai-gerainya untuk melakukan perubahan menu. Pada saat itu, mereka juga berencana meninggalkan praktik mencuci piring dan alat-alat makan. Hasilnya, sekitar enam bulan kemudian, McDonald's kembali membuka gerai-gerainya dan mengganti alat-alat makan mereka menjadi alat makan sekali pakai.
Sanitasi
Penggunaan kemasan sekali pakai untuk mengemas makanan dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi keracunan makanan. Dengan menggunakannya hanya sekali, produk seperti ini dapat mengurangi risiko kontaminasi makanan dan penyebaran penyakit. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat merinci kelebihan kemasan sekali pakai dalam hal sanitasi sebagai berikut: "Perusahaan makanan yang tidak memiliki fasilitas...untuk membersihkan dan menyanitasi peralatan dapur dan makan harus menyediakan peralatan dapur dan makan sekali pakai, baik untuk karyawan maupun konsumen." Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa "dalam situasi yang memungkinkan penularan penyakit akibat penggunaan kembali peralatan, peralatan sekali pakai harus digunakan karena alasan keamanan."
Bahan
Kemasan makanan sekali pakai dapat dibuat dari berbagai macam bahan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Aluminium
Alumunium digunakan sebagai bahan kertas aluminium, pembungkus, tas, wadah, dan nampan. Penggunaan aluminium dapat ditemui pada makanan beku, roti yang dipanggang, produk daging, dan lain-lain. Salah satu keunggulan alumunium ialah harganya yang murah dan awet.
Kayu dan bambu
Peralatan sekali pakai dari kayu dan bambu mulai berkembang seiring dengan upaya pengurangan produk plastik. Beberapa alat makan tersebut ialah sendok, garpu, atau sumpit. Penggunaan alat makan sekali pakai dengan bahan seperti ini dapat memiliki dampak lingkungan yang lebih baik daripada produk plastik. Produk kayu dapat mengalami pembusukan dalam waktu beberapa bulan. Meskipun demikian, produk kayu dan bambu cenderung lebih mahal dan sulit didapatkan daripada produk plastik.
Kertas dan karton
Produk penyimpanan makanan seperti gelas, piring, mangkuk, dan produk-produk lainnya dapat dibuat menggunakan kertas dan karton. Beberapa produk kertas dilapisi menggunakan plastik atau material lainnya supaya tahan air dan lebih kuat. Nampan kertas biasanya digunakan untuk menyimpan makanan seperti piza dan hamburger.
Limbah kertas, seperti koran bekas, dapat didaur ulang dengan cara diberi panas dan tekanan. Proses daur ulang tersebut dapat menghasilkan produk baru berupa piring, mangkuk, atau nampan.
Plastik
Banyak produk kemasan makanan sekali pakai yang terbuat dari plastik atau kertas yang dilapisi plastik, contohnya gelas, piring, mangkuk, nampan, wadah makanan, dan alat makan. Plastik digunakan karena sifatnya yang ringan dan dapat bertahan dalam temperatur yang tinggi maupun rendah. Busa polistirena (populer dengan sebutan styrofoam) merupakan salah satu jenis plastik yang umum digunakan dalam pengemasan makanan. Polistirena nonbusa terkadang juga digunakan sebagai bahan baku piring plastik. Penggunaan plastik juga ditemui dalam bungkus plastik yang bertujuan untuk melindungi makanan dari lingkungan di sekitarnya.
Bahan lain
Beberapa produsen alat makan mulai mengembangkan produk sekali pakai dari kombinasi pati alami, serat daur ulang, air, udara, dan mineral alami. Produk komposit tersebut meliputi cangkir, piring, mangkuk, pembungkus roti lapis, wadah, dan nampan. Idealnya, produk seperti ini mudah terurai dan dapat terurai dengan mudah setelah digunakan.
Salah satu bahan yang paling umum digunakan ialah asam polilaktat, atau disingkat PLA. Beberapa produk dibuat menggunakan campuran PLA dan serat pulp yang dicetak menjadi alat makan. Bahan lain yang populer digunakan ialah gamping dan serat untuk memperkuat produk.
Biaya
Berkurangnya peralatan tetap dan tenaga kerja dapat membuat kemasan makanan sekali pakai menjadi lebih murah dibandingkan kemasan yang dapat dipakai ulang. Penggunaan kemasan makanan sekali pakai juga mengeliminasi biaya pencucian piring dan mengurangi penggunaan energi. Penghematan juga dapat dilakukan karena tidak ada biaya tambahan ketika peralatan makan rusak atau dicuri.
Dampak lingkungan
Perbandingan dengan produk yang dapat dipakai berulang kali
Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, kemasan dan wadah makanan menyumbang 24,3 persen sampah yang dibuang di pembuangan sampah padat negara tersebut pada 2010. Badan tersebut juga menyatakan bahwa pengurangan sampah dapat dilakukan dengan menggunakan alat makan yang dapat digunakan kembali. Meskipun menggunakan energi dan air yang lebih banyak, alat makan seperti ini memiliki dampak lingkungan yang lebih sedikit dibandingkan kemasan sekali pakai.
Jejak lingkungan
Beberapa pihak telah berusaha mengurangi jejak lingkungan akibat penggunaan kemasan makanan. Analisis siklus hidup merupakan salah satu metode untuk menentukan efek suatu sistem produk. Beberapa tindakan yang dilakukan, antara lain:
- Pengemasan makanan yang baru dilakukan dapat mengikuti pedoman pengemasan berkelanjutan yang dibuat oleh beberapa organisasi. Tindakan ini dapat berupa daur ulang pengemasan oleh restoran yang menggunakannya.
- Produk kemasan yang digunakan oleh restoran dapat menggunakan kandungan daur ulang di dalamnya.
- Beberapa produk kemasan didesain untuk dapat terurai, meskipun bergantung pada fasilitas penguraian yang tersedia di wilayah tersebut. Produk-produk tersebut dapat disertifikasi untuk memenuhi standar internasional, seperti ASTM International D6400, ASTM D6868, dan EN 13432.
- Beberapa kemasan sekali pakai dapat didaur ulang, meskipun dapat sering terkendala masalah kontaminasi makanan.
Ilusi klaim "produk yang dapat didaur ulang"
Produk sekali pakai seringkali mencantumkan pernyataan "dapat didaur ulang" atau "mohon didaur ulang", meskipun keefektifan dan ketersedian fasilitas yang mendukung kampanye tersebut masih terbatas. Sebuah pendekatan yang umum dilakukan oleh restoran-restoran ialah dengan menyediakan tempat sampah berlabel "daur ulang". Pada kenyataannya, daur ulang produk sekali pakai cukup sulit dilakukan karena melibatkan proses pembersihan secara menyeluruh. Selain menjadi praktik greenwashing, pendekatan seperti ini dapat mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak produk sekali pakai.
Beberapa ahli menilai pelarangan penuh alat makan sekali pakai sebagai satu-satunya solusi atas masalah ini. Salah satu negara yang melakukan hal ini ialah Tiongkok yang mulai melarang penggunaan kantong plastik pada akhir 2020 di kota-kota besar dan berencana melarang penggunaannya di permukiman yang lebih kecil pada 2022. Hingga awal 2021, sebanyak 39 kota dan 2 provinsi di Indonesia juga telah melarang penggunaan kantong plastik di pertokoan ritel.