Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Lopinavir/ritonavir
Data klinis | |
---|---|
Nama dagang | Kaletra, Aluvia |
AHFS/Drugs.com | monograph |
MedlinePlus | a602015 |
Data lisensi | EMA:pranala |
Kat. kehamilan | C(US) |
Status hukum | Harus dengan resep dokter (S4) (AU) Schedule IV (CA) POM (UK) ℞-only (US) |
Rute | Melalui mulut |
Pengenal | |
Nomor CAS | 369372-47-4 N |
Kode ATC | J05AR10 |
PubChem | CID 11979606 |
NIAID ChemDB | AIDSNO:003688 |
Data kimia | |
Rumus | ? |
Lopinavir/ritonavir (LPV/r), dengan nama dagang Kaletra, Aluvia, dan lainnya, adalah kombinasi dosis tetap untuk pengobatan dan pencegahan HIV/AIDS. Obat ini terdiri dari lopinavir dan ritonavir dosis rendah. Obat ini digunakan secara bersamaan dengan obat ARV lainnya. Obat ini dapat digunakan untuk pencegahan setelah tertusuk jarum suntik atau terpaparan risiko penularan lainnya. Obat ini berupa tablet.
Efek samping yang umum terjadi antara lain diare, muntah, rasa lelah, sakit kepala, dan nyeri otot. Efek samping berat yang mungkin terjadi antara lain pankreatitis, gangguan hati, dan gula darah tinggi. Obat ini umum digunakan pada pasien hamil dan memiliki profil keamanan yang baik. Kedua obat tersebut termasuk dalam kelas inhibitor protease. Ritonavir berfungsi untuk memperlambat metabolisme lopinavir.
Kombinasi lopinavir/ritonavir disetujui oleh FDA pada tahun 2000. Obat ini ada dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia Biaya pengobatan dengan LPV/r di negara berkembang adalah 18,96 hingga 113,52 USD per bulan. Di Amerika Serikat obat ini tidak tersedia dalam bentuk generik dan harganya lebih dari 200 USD per bulan pada tahun 2016. Di Indonesia, pengobatan untuk HIV ditanggung oleh pemerintah. Pasien dapat menerima obat ARV secara gratis di beberapa fasilitas kesehatan yang tersebar di Indonesia.
Indikasi
Per tahun 2006, lopinavir/ritonavir merupakan salah satu komponen dari pilihan kombinasi terapi lini pertama yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merekomendasikan penggunaan lopinavir/ritonavir sebagai terapi HIV lini kedua untuk menggantikan inhibitor transkriptase balik non-nukleosida seperti efavirenz dan nevirapin.
Efek samping
Efek samping yang paling sering terjadi setelah penggunaan lopinavir/ritonavir antara lain diare dan mual. Dari hasil uji klinis, diare sedang atau berat dialami hingga 27% dari pasien yang mendapat LPV/r, sedangkan mual sedang atau berat dialami hingga 16% dari pasien. Efek samping umum lainnya antara lain sakit perut, sakit kepala, muntah, dan ruam terutama pada anak.
Lopinavir/ritonavir diperkirakan memiliki interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat CYP3A dan/atau P-gp.
Pasien dengan penyakit jantung, penyakit jantung iskemik, atau kardiomiopati harus berhati-hati dalam menggunakan lopinavir/ritonavir.
Pada 8 Maret 2011, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat memberikan peringatan bagi para tenaga kesehatan karena adanya kasus masalah kesehatan yang berat setelah bayi prematur diberikan sirup lopinavir/ritonavir. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena adanya propilen glikol dalam sediaan tersebut. FDA merekomendasikan untuk menghindari penggunaan produk tersebut pada bayi prematur.
Biaya
Karena biaya pengobatan yang tinggi dan meluasnya penyebaran HIV, pemerintah Thailand mengeluarkan lisensi wajib pada tanggal 29 Januari 2007 untuk memproduksi dan/atau mengimpor lopinavir/ritonavir versi generik. Menanggapi hal tersebut, Abbott Laboratories menarik permohonan registrasi lopinavir dan tujuh obat baru lainnya di Thailand dengan alasan pemerintah Thailand tidak menghormati hak paten. Sikap Abbott dikecam oleh beberapa LSM di seluruh dunia, seperti Act Up-Paris dan seruan oleh AIDES, LSM Prancis, untuk memboikot semua obat-obatan Abbott.