Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Pemotongan kelamin perempuan
Definisi | Didefinisikan pada tahun 1977 oleh WHO, UNICEF, dan UNFPA sebagai "penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk alasan nonmedis." | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Area | Afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan pada berbagai komunitas di area ini. | ||||||
Jumlah | Lebih dari 200 juta perempuan di 27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman (tahun 2016). | ||||||
Usia | Beberapa hari setelah kelahiran sampai pubertas. | ||||||
Prevalensi | |||||||
| |||||||
|
Pemotongan kelamin perempuan (bahasa Inggris: female genital mutilation disingkat FGM), juga dikenal sebagai mutilasi kelamin perempuan, sunat perempuan, dan khitan perempuan, adalah pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita. Praktik ini umum ditemukan di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. UNICEF memperkirakan pada tahun 2016 bahwa 200 juta wanita di 30 negara (27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman) telah menjalani prosedur ini.
Pemotongan kelamin biasanya dilakukan oleh penyunat tradisional menggunakan pisau dan dilakukan mulai dari beberapa hari setelah kelahiran hingga masa pubertas dan seterusnya. Di separuh negara dengan ketersediaan data di tingkat nasional, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun. Cara pemotongan berbeda-beda menurut negara atau kelompok etnik, contohnya adalah penghilangan tudung klitoris dan glans klitoris; penghilangan labia bagian dalam; serta penghilangan labia bagian dalam dan bagian luar ditambah dengan penutupan vulva (infibulasi). Untuk metode infibulasi, sebuah lubang kecil disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi; vagina kelak akan dibuka untuk hubungan intim dan dibuka lebih lanjut untuk melahirkan.
Menurut pengkritik pemotongan kelamin perempuan, praktik ini berakar pada ketidaksetaraan gender, upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan, dan gagasan tentang kesucian, kesopanan, dan keindahan. Pemotongan ini biasanya diprakarsai dan dilakukan oleh wanita yang menganggapnya perlu demi kehormatan dan juga atas dasar ketakutan bahwa anak perempuan yang tidak menjalani FGM akan dikucilkan secara sosial. Dampak buruk terhadap kesehatan tergantung pada metode yang dilakukan, contohnya adalah infeksi berulang, kesulitan buang air kecil dan pembuangan cairan menstruasi, nyeri kronis, perkembangan kista, ketidakmampuan untuk hamil, komplikasi saat melahirkan, dan perdarahan fatal. Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui sejauh ini.
Komunitas internasional telah berupaya sejak tahun 1970-an untuk meyakinkan masyarakat agar tidak mempraktikkan FGM. Praktik ini telah dilarang atau dibatasi di sebagian besar negara yang masyarakatnya menerapkan FGM, meskipun peraturan yang ada acap kali diabaikan. Sejak 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan kepada para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melakukan segala bentuk FGM, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan "penandaan" tudung klitoris secara simbolis. Perlawanan terhadap FGM juga dikritik, terutama dari kalangan antropolog yang mendasarkan argumen mereka pada relativisme budaya.
Terminologi
Hingga tahun 1980-an, FGM secara luas dikenal dalam bahasa Inggris sebagai sirkumsisi (sunat) perempuan, yang menyiratkan kesetaraan dengan sunat laki-laki. Sejak tahun 1929, Dewan Misionaris Kenya menyebutnya sebagai mutilasi seksual terhadap wanita, mengikuti arahan Marion Scott Stevenson, seorang misionaris Gereja Skotlandia. Penyebutan praktik ini sebagai mutilasi meningkat sepanjang tahun 1970-an. Pada tahun 1975, Rose Oldfield Hayes, seorang antropolog Amerika Serikat, menggunakan istilah mutilasi kelamin perempuan dalam sebuah judul artikel di jurnal American Ethnologist, dan empat tahun kemudian Fran Hosken, seorang penulis feminis Austria-Amerika, menyebutnya sebagai mutilasi di Laporan Hosken: Mutilasi Kelamin dan Seksual terhadap Perempuan, karyanya yang berpengaruh.Komite Inter-Afrika tentang Praktik-Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Perempuan dan Anak-Anak (IAC) mulai menyebutnya sebagai mutilasi kelamin perempuan pada tahun 1990, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengikutinya pada tahun 1991. Istilah bahasa Inggris lainnya termasuk pemotongan kelamin wanita (female genital cutting, disingkat FGC) dan mutilasi/pemotongan genital wanita (female genital mutilation/cutting, disingkat FGM/C), lebih disukai oleh mereka yang bekerja bersama praktisi.
Di negara-negara yang umum mempraktikkan FGM, ada banyak varian praktik yang tecermin dalam lusinan istilah, yang sering merujuk pada pemurnian. Dalam bahasa Bambara, yang sebagian besar dituturkan di Mali, praktik ini dikenal sebagai bolokoli ("mencuci tangan") dan dalam bahasa Igbo di Nigeria bagian timur sebagai isa aru atau iwu aru ("sedang mandi"). Istilah lain termasuk khifad, tahur, quodiin, irua, bondo, kuruna, negekorsigin, dan kene-kene. Istilah bahasa Arab yang umum untuk pemurnian memiliki akar t-h-r, yang digunakan untuk sunat laki-laki dan perempuan (tahur dan tahara). FGM juga dikenal dalam bahasa Arab sebagai khafḍ atau khifaḍ. Masyarakat mungkin menyebut FGM sebagai sirkumsisi "firaun" untuk infibulasi dan sirkumsisi "sunah" untuk yang lainnya. Sunah berarti "jalur atau jalan" dalam bahasa Arab yang merujuk pada kebiasaan Muhammad, meskipun Muhammad tidak mewajibkan FGM. Istilah infibulasi berasal dari fibula, bahasa Latin untuk jepitan; penduduk Romawi Kuno dilaporkan menggunakan jepitan yang menembus kulit depan atau labia budak wanita untuk mencegah hubungan seksual. Pembedahan infibulasi wanita kemudian dikenal sebagai sunat firaun di Sudan, dan sebagai sunat Sudan di Mesir. Di Somalia, praktik ini hanya dikenal sebagai qodob ("menjahit").
Metode
Tindakan FGM umumnya dilakukan oleh penyunat tradisional di rumah anak perempuan, dengan atau tanpa anestesi. Pemotongan biasanya dilakukan oleh wanita yang lebih tua. Walaupun begitu, di komunitas-komunitas tertentu, tukang cukur pria yang telah mengambil peran sebagai petugas kesehatan juga dapat melakukan pemotongan. Saat pemotong tradisional dilibatkan, kemungkinan besar alat-alat yang tidak steril akan digunakan, seperti pisau, pisau cukur, gunting, kaca, serta batu dan kuku yang diasah. Menurut seorang perawat di Uganda, yang dikutip pada 2007 di jurnal The Lancet, seorang pemotong akan menggunakan satu pisau untuk hingga 30 anak perempuan sekaligus. Tenaga kesehatan profesional sering kali terlibat di Mesir, Kenya, Indonesia, dan Sudan; data tahun 2008 menunjukkan 77 persen prosedur FGM di Mesir dilakukan oleh tenaga medis, sementara di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebesar 50 persen. Pada tahun 1995, berdasarkan laporan dari wanita-wanita di Mesir, 60 persen FGM dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal, 13 persen dengan anestesi umum, dan 25 persen tanpa anestesi sama sekali (sementara dua persen lainnya tidak diketahui/tanpa keterangan).
Klasifikasi
Variasi
Pada 1997, WHO, UNICEF, dan UNFPA mengeluarkan pernyataan bersama yang mendefinisikan FGM sebagai "semua prosedur yang melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita baik karena alasan budaya maupun nonterapi". Prosedurnya bervariasi sesuai dengan etnis dan individu yang melakukan pemotongan; pada survei tahun 1998 di Niger, para wanita merespons dengan lebih dari 50 istilah ketika ditanya apa yang telah dilakukan terhadap kelamin mereka. Masalah penerjemahan diperparah oleh kebingungan wanita tentang jenis FGM yang mereka alami dan apakah mereka benar-benar telah menjalani FGM. Penelitian menunjukkan bahwa respons terhadap survei tidak dapat diandalkan. Sebuah studi tahun 2003 di Ghana menemukan bahwa pada tahun 1995, empat persen wanita mengatakan mereka tidak menjalani FGM, tetapi pada tahun 2000 mengatakan mereka pernah. Di sisi lain, 11 persen wanita mengatakan sudah menjalani FGM pada tahun 1995 tetapi kemudian menampiknya pada tahun 2000. Di Tanzania pada 2005, 66 persen melaporkan FGM, tetapi pemeriksaan medis menemukan bahwa 73 persen telah mengalaminya. Di Sudan pada tahun 2006, banyak wanita dan gadis yang diinfibulasi merespons jawaban dengan tipe FGM yang lebih ringan.
Tipe
Kuisioner standar dari badan PBB berisi pertanyaan untuk perempuan mengenai apakah mereka atau anak perempuan mereka telah mengalami hal berikut: (1) pemotongan, tidak ada daging yang dibuang (pengikisan simbolis); (2) pemotongan, sebagian daging dihilangkan; (3) penjahitan untuk menutup; atau (4) tipe yang tidak ditentukan/tidak pasti/tidak tahu. Prosedur yang paling umum yaitu kategori "pemotongan, sebagian daging dihilangkan" dan melibatkan pengangkatan total atau sebagian glans klitoris. WHO menciptakan tipologi yang lebih rinci pada tahun 1997: Tipe I–II menunjukkan seberapa banyak jaringan yang dihilangkan; Tipe III setara dengan kategori UNICEF "dijahit tertutup"; dan Tipe IV menjelaskan berbagai prosedur, termasuk pengikisan simbolis.
Tipe I
Tipe I adalah "penghilangan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau preputium (kulup atau kulit penutup)". Tipe Ia hanya melibatkan pengangkatan tudung klitoris saja, yang jarang dilakukan. Prosedur yang lebih umum adalah Tipe Ib (klitoridektomi), yaitu penghilangan total atau sebagian glans klitoris (ujung klitoris yang terlihat) dan tudung klitoris. Penyunat menarik glans klitoris dengan ibu jari dan telunjuknya dan memotongnya.
Tipe II
Tipe II (eksisi) adalah penghilangan total atau sebagian labia bagian dalam, dengan atau tanpa pengangkatan glans klitoris dan labia bagian luar. Tipe IIa adalah penghilangan labia bagian dalam; Tipe IIb, penghilangan glans klitoris dan labia bagian dalam; serta Tipe IIc, penghilangan glans klitoris, labia bagian dalam, dan labia bagian luar. Eksisi dalam bahasa Prancis dapat merujuk pada segala bentuk FGM.
Tipe III
Tipe III (infibulasi atau sunat firaun), kategori "dijahit tertutup", adalah penghilangan alat kelamin luar dan penutupan luka. Labia bagian dalam dan/atau luar dipotong, dengan atau tanpa pengangkatan glans klitoris. Tipe III ditemukan sebagian besar di Afrika bagian timur laut, khususnya Djibouti, Eritrea, Etiopia, Somalia, dan Sudan (meskipun tidak di Sudan Selatan). Menurut studi pada tahun 2008, diperkirakan lebih dari delapan juta wanita di Afrika hidup dengan FGM Tipe III. Menurut UNFPA pada 2010, 20 persen wanita dengan FGM telah diinfibulasi. Di Somalia, menurut Edna Adan Ismail, anak perempuan akan berjongkok di atas bangku atau tikar sementara kakinya dibuka oleh orang dewasa; anestesi lokal akan diberikan jika tersedia:
Kecepatan dan kejutan merupakan elemen yang sangat penting. Penyunat segera menjepit klitoris di antara kukunya, membidiknya, lalu memotongnya dengan tebasan. Organ tersebut kemudian ditunjukkan kepada anggota keluarga perempuan yang lebih senior, yang akan memutuskan apakah bagian klitoris yang dipotong telah cukup atau masih kurang.
Setelah klitoris dipotong dengan baik... penyunat dapat melanjutkan dengan penghilangan total labia minor dan pemotongan dinding bagian dalam labia mayor. Karena seluruh kulit di dinding bagian dalam labia mayor harus dihilangkan sampai ke perineum, tindakan ini menjadi runyam. Pada saat ini, si anak berteriak, melawan, dan mengalami pendarahan deras, yang membuat penyunat sulit untuk memegang kulit yang licin dan bagian yang harus dipotong atau dijahit bersama, hanya dengan jari dan kuku. ...
Setelah memastikan bahwa penghilangan jaringan telah cukup untuk memungkinkan penutupan kulit, penyunat menyatukan sisi-sisi labia mayor yang berlawanan dan memastikan bahwa tepian kulit yang telah dihilangkan sudah diperkirakan dengan baik. Luka sekarang siap untuk dijahit atau diberi duri. Jika jarum dan benang digunakan untuk menjahit, jahitan yang tertutup rapat akan dilakukan untuk memastikan bahwa lipatan kulit menutupi vulva dan memanjang dari mons veneris ke perineum, sehingga setelah luka sembuh, akan terbentuk jembatan jaringan parut yang benar-benar menyumbat lubang vagina.
Bagian yang diamputasi bisa diletakkan di dalam kantong kecil untuk dipakai si gadis itu. Lubang sebesar 2–3 mm tetap disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi. Vulva ditutup dengan benang bedah, atau duri agave atau akasia, dan mungkin ditutup dengan tuam dari telur mentah, rempah, dan gula. Untuk membantu pengikatan jaringan, kaki gadis tersebut diikat, sering kali dari pinggul hingga pergelangan kaki; ikatan biasanya dikendorkan setelah satu minggu dan dilepas setelah dua sampai enam minggu. Jika lubang yang tersisa dipandang terlalu besar oleh keluarga gadis itu, prosedur ini diulangi.
Vagina akan dibuka untuk hubungan seksual untuk pertama kalinya baik oleh bidan dengan pisau atau oleh suami wanita tersebut dengan penisnya. Di beberapa daerah, termasuk Somaliland, kerabat perempuan dari kedua mempelai mungkin menonton pembukaan vagina untuk memeriksa keperawanan si gadis. Vagina juga dibuka lebih lanjut untuk melahirkan (defibulasi atau deinfibulasi) dan ditutup kembali sesudahnya (reinfibulasi). Reinfibulasi dapat melibatkan pemotongan vagina lagi untuk mengembalikan ukuran lubang jarum seperti infibulasi pertama. Hal ini mungkin dilakukan sebelum menikah, dan setelah melahirkan, perceraian, dan kejandaan. Hanny Lightfoot-Klein mewawancarai ratusan wanita dan pria di Sudan pada 1980-an tentang hubungan seksual dengan Tipe III:
Penetrasi infibulasi pengantin wanita memakan waktu antara 3 atau 4 hari hingga beberapa bulan. Beberapa pria sama sekali tidak dapat melakukan penetrasi terhadap istri mereka (dalam penelitian saya lebih dari 15%), dan tugas tersebut sering kali diselesaikan oleh bidan dalam kondisi kerahasiaan yang luar biasa karena [kegagalan tersebut] mencerminkan secara negatif potensi [seksual] pria tersebut. Beberapa orang yang tidak mampu melakukan penetrasi terhadap istri mereka berhasil membuat mereka hamil meskipun [istri] sudah diinfibulasi; saluran vagina wanita kemudian dipotong hingga terbuka untuk memungkinkan wanita tersebut melahirkan. ... Orang-orang yang berhasil melakukan penetrasi terhadap istri mereka sering menjalankannya, atau mungkin selalu [menjalankannya], dengan bantuan "pisau kecil". Hal ini menghasilkan sobekan yang secara bertahap dicabik hingga lubangnya cukup besar untuk dimasuki penis.
Tipe IV
Tipe IV adalah "semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin wanita untuk tujuan nonmedis", termasuk menusuk, membobol, menggores, mengikis, dan kauterisasi. Kategori ini juga mencakup pengikisan klitoris (sunat simbolis), pembakaran, dan dimasukannya zat ke dalam vagina untuk mengencangkannya.Peregangan labia juga dikategorikan ke dalam Tipe IV. Praktik ini umum dilakukan di Afrika bagian selatan dan timur, serta dilakukan untuk meningkatkan kenikmatan seksual bagi pria. Sejak usia delapan tahun, anak perempuan didorong untuk meregangkan labia bagian dalam mereka menggunakan tongkat dan pijatan. Gadis-gadis di Uganda diberitahu bahwa mereka mungkin mengalami kesulitan melahirkan tanpa labia yang diregangkan.
Definisi FGM dari WHO pada tahun 1995 juga meliputi pemotongan gishiri dan pemotongan angurya, yang ditemukan di Nigeria dan Niger. Istilah-istilah ini telah dihapus dari definisi WHO 2008 karena tidak cukup informasi tentang prevalensi dan konsekuensinya. Pemotongan angurya adalah eksisi selaput dara, biasanya dilakukan tujuh hari setelah kelahiran. Pemotongan gishiri melibatkan pemotongan dinding depan atau belakang vagina dengan pisau atau pisau lipat, yang dilakukan sebagai respons terhadap infertilitas, persalinan yang macet, dan kondisi lainnya. Dalam sebuah penelitian oleh Mairo Usman Mandara, seorang dokter Nigeria, lebih dari 30 persen wanita dengan pemotongan gishiri ditemukan memiliki fistula vesikovaginal (lubang yang memungkinkan urin meresap ke dalam vagina).
Komplikasi
Jangka pendek dan jangka panjang
Pemotongan kelamin membahayakan kesehatan fisik dan emosional wanita sepanjang hidup mereka. Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui sejauh ini.Komplikasi jangka pendek dan panjang tergantung pada jenis FGM, apakah penyunatnya pernah menjalani pelatihan medis, serta apakah mereka menggunakan antibiotik dan instrumen bedah steril atau sekali pakai. Dalam kasus Tipe III, faktor-faktor lain yang berpengaruh meliputi seberapa kecil lubang yang tersisa untuk aliran urin dan darah menstruasi, apakah benang bedah digunakan sebagai pengganti duri agave atau akasia, dan apakah prosedur dilakukan lebih dari satu kali (misalnya untuk menutup lubang yang dianggap terlalu lebar atau membuka kembali yang terlalu kecil).
Komplikasi jangka pendek yang umum ditemukan mencakup pembengkakan, pendarahan yang berlebihan, nyeri, retensi urin, dan masalah penyembuhan atau infeksi luka. Sebuah tinjauan sistematis terhadap 56 studi pada tahun 2014 menyimpulkan bahwa lebih dari satu dari sepuluh perempuan yang menjalani segala bentuk FGM, termasuk pengikisan simbolis klitoris (Tipe IV), mengalami komplikasi langsung dan risikonya meningkat pada Tipe III. Tinjauan tersebut juga menyimpulkan kurangnya pelaporan. Komplikasi jangka pendek lainnya termasuk perdarahan fatal, anemia, infeksi saluran kemih, septisemia, tetanus, gangren, fasciitis nekrotikan, dan endometritis. Tidak diketahui berapa banyak perempuan yang meninggal akibat praktik FGM karena komplikasi mungkin tidak dikenali atau dilaporkan. Penggunaan instrumen bersama oleh para praktisi dianggap membantu penularan hepatitis B, hepatitis C, dan HIV, meskipun tidak ada penelitian epidemiologis yang menunjukkan hal ini.
Komplikasi jangka panjang juga bervariasi tergantung pada jenis FGM, misalnya pembentukan bekas luka dan keloid yang menyebabkan penyempitan dan penyumbatan, kista epidermoid yang dapat terinfeksi, dan pembentukan neuroma (pertumbuhan jaringan saraf) yang melibatkan saraf yang menginervasi klitoris. Seorang gadis yang diinfibulasi mungkin disisakan lubang sekecil 2–3 mm, yang dapat menyebabkan buang air kecil yang lama, tetes demi tetes, nyeri saat buang air kecil, dan perasaan perlu buang air kecil sepanjang waktu. Urin dapat mengumpul di bawah bekas luka dan membuat area di bawah kulit terus basah, yang dapat menyebabkan infeksi dan pembentukan batu-batu kecil. Lubang disisakan dengan ukuran yang lebih besar pada wanita yang aktif secara seksual atau telah melahirkan melalui persalinan per vaginam, tetapi lubang uretra mungkin masih terhalang oleh jaringan parut. Fistula vesikovaginal atau rektovaginal dapat terbentuk (lubang yang memungkinkan urin atau feses meresap ke dalam vagina). Hal ini dan kerusakan lain pada uretra dan kandung kemih dapat menyebabkan infeksi dan inkontinensia, nyeri selama hubungan seksual, dan infertilitas.Nyeri haid sering terjadi akibat terhambatnya aliran menstruasi dan darah dapat mandek di vagina dan rahim. Penyumbatan total vagina dapat menyebabkan hematokolpos dan hematometra (ketika vagina dan uterus terisi oleh darah menstruasi). Pembengkakan perut dan darah haid yang tertahan dapat menyerupai kehamilan;Asma El Dareer, seorang dokter Sudan, melaporkan pada tahun 1979 bahwa seorang gadis di Sudan dengan kondisi ini dibunuh oleh keluarganya.
Kehamilan dan persalinan
Pemotongan kelamin meningkatkan risiko masalah kehamilan dan persalinan pada wanita, terutama pada prosedur FGM yang ekstensif. Wanita yang diinfibulasi kadang mencoba membuat persalinan lebih mudah dengan mengurangi makan selama kehamilan untuk mengurangi ukuran bayi. Pada wanita dengan fistula vesikovaginal atau rektovaginal, sampel urin yang jernih sulit didapatkan sehingga perawatan prenatal, seperti diagnosis pre-eklampsia, lebih sulit dilakukan. Evaluasi serviks selama persalinan dapat terhalang; proses persalinan juga menjadi lama atau terhambat. Laserasi derajat tiga (sobekan), kerusakan cincin dubur, dan operasi sesar darurat lebih sering terjadi pada wanita yang diinfibulasi.
FGM juga dapat meningkatkan kematian neonatal. WHO memperkirakan pada 2006 bahwa FGM mengakibatkan tambahan 10–20 bayi meninggal per 1.000 persalinan. Perkiraan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada 28.393 wanita yang mendatangi bangsal persalinan di 28 pusat kebidanan di Burkina Faso, Ghana, Kenya, Nigeria, Senegal, dan Sudan. Di bangsal tersebut ditemukan bahwa semua jenis FGM meningkatkan risiko kematian bayi: 15 persen lebih tinggi untuk Tipe I, 32 persen untuk Tipe II, dan 55 persen untuk Tipe III. Penyebab hal ini belum diketahui dengan jelas, tetapi dapat dihubungkan dengan infeksi kelamin dan saluran kemih, serta adanya jaringan parut. Menurut penelitian, FGM dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan perineum dan kehilangan darah berlebih pada ibu, serta peningkatan resusitasi pada bayi dan lahir mati, kemungkinan akibat fase persalinan tahap kedua (pengeluaran janin) yang panjang.
Dampak psikologis dan fungsi seksual
Menurut tinjauan sistematis pada 2015, hanya tersedia sedikit informasi berkualitas tinggi tentang efek psikologis FGM. Beberapa penelitian kecil menyimpulkan bahwa wanita dengan FGM menderita gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma. Perasaan malu dan terkhianati dapat berkembang ketika wanita meninggalkan budaya yang mempraktikkan FGM dan kemudian mendapati bahwa FGM tidak sesuai dengan norma di tempat tinggal baru mereka. Namun, dalam budaya yang mempraktikkan FGM, para wanita dapat memandang FGM yang mereka alami dengan bangga karena bagi mereka FGM menandakan keindahan serta menghormati tradisi, kesucian, dan kebersihan. Studi tentang fungsi seksual juga tidak banyak. Sebuah metaanalisis tahun 2013 dari 15 studi yang melibatkan 12.671 wanita dari tujuh negara menyimpulkan bahwa wanita dengan FGM dua kali lebih mungkin melaporkan ketiadaan hasrat seksual dan 52 persen lebih mungkin untuk melaporkan dispareunia (nyeri saat bersenggama). Sepertiga melaporkan berkurangnya perasaan seksual.
Distribusi
Survei rumah tangga
Lembaga bantuan mendefinisikan prevalensi FGM sebagai persentase dari kelompok usia 15–49 tahun yang mengalaminya. Angka-angka ini didasarkan pada survei rumah tangga yang mewakili tingkat nasional yang dikenal sebagai Survei Demografi dan Kesehatan (DHS), yang dikembangkan oleh Macro International dan didanai terutama oleh Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID); dan Survei Klaster Indikator Berganda (MICS) yang dilakukan dengan bantuan keuangan dan teknis dari UNICEF. Survei-survei ini telah dilakukan di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan di tempat lain kira-kira setiap lima tahun, masing-masing sejak tahun 1984 dan 1995. Survei pertama yang bertanya tentang FGM adalah DHS 1989–1990 di Sudan bagian utara. Publikasi pertama yang memperkirakan prevalensi FGM berdasarkan data DHS (di tujuh negara) ditulis oleh Dara Carr dari Macro International pada tahun 1997.
Tipe FGM
Pertanyaan kepada para wanita selama survei meliputi: "Apakah area kelamin baru saja dikikir atau dipotong tanpa menghilangkan daging? Apakah ada daging (atau sesuatu) yang dihilangkan dari area kelamin? Apakah area kelamin Anda dijahit?" Kebanyakan wanita melaporkan "dipotong, sebagian daging dihilangkan" (Tipe I dan II).
Tipe I adalah bentuk yang paling umum ditemukan di Mesir, dan di bagian selatan Nigeria. Tipe III (infibulasi) terkonsentrasi di Afrika bagian timur laut, khususnya Djibouti, Eritrea, Somalia, dan Sudan. Dalam survei tahun 2002–2006, 30 persen gadis yang dipotong di Djibouti, 38 persen di Eritrea, dan 63 persen di Somalia pernah mengalami FGM Tipe III. Prevalensi infibulasi yang tinggi juga ditemukan pada kalangan anak perempuan di Niger dan Senegal, dan pada 2013 diperkirakan bahwa tiga persen dari kelompok usia 0–14 di Nigeria telah diinfibulasi. Infibulasi sering dikaitkan dengan etnis. Di Eritrea, misalnya, sebuah survei pada tahun 2002 menemukan bahwa semua gadis suku Hedareb telah diinfibulasi, dibandingkan dengan dua persen dari suku Tigrinya, yang sebagian besar ditempatkan dalam kategori "dipotong, tidak ada daging yang dihilangkan".
Prevalensi
Sebagian besar FGM ditemukan di Afrika bagian timur ke barat dari Somalia ke Senegal, dan utara ke selatan dari Mesir ke Tanzania. Angka-angka nasional dilaporkan pada 27 negara di Afrika, serta Indonesia, Irak Kurdistan, dan Yaman. Lebih dari 200 juta wanita dan gadis diperkirakan hidup dengan FGM di 30 negara tersebut.
Konsentrasi tertinggi di antara kelompok usia 15–49 adalah di Somalia (98 persen), Guinea (97 persen), Djibouti (93 persen), Mesir (91 persen), dan Sierra Leone (90 persen). Pada 2013, 27,2 juta wanita telah menjalani FGM di Mesir, 23,8 juta di Etiopia, dan 19,9 juta di Nigeria. Ada konsentrasi tinggi di Indonesia, dengan praktik Tipe I (klitoridektomi) dan Tipe IV (pengikisan simbolis). Tingkat prevalensi untuk kelompok usia 0–11 di Indonesia adalah 49 persen (13,4 juta). Studi yang lebih kecil atau laporan anekdotal menunjukkan bahwa FGM juga dipraktikkan di Kolombia, Yordania, Oman, Arab Saudi, dan sebagian Malaysia; di Uni Emirat Arab; dan di India oleh Dawoodi Bohra. FGM juga ditemukan di komunitas imigran di berbagai belahan dunia.
Angka prevalensi untuk kelompok usia 15–19 dan lebih muda menunjukkan penurunan tren. Burkina Faso, misalnya, turun dari 89 persen (1980) menjadi 58 persen (2010); Mesir dari 97 persen (1985) menjadi 70 persen (2015); dan Kenya dari 41 persen (1984) menjadi 11 persen (2014). Mulai tahun 2010, survei rumah tangga menanyakan kepada wanita tentang status FGM pada semua anak perempuan mereka yang masih hidup. Konsentrasi tertinggi di antara anak perempuan berusia 0–14 adalah di Gambia (56 persen), Mauritania (54 persen), Indonesia (49 persen untuk 0–11), dan Guinea (46 persen). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa seorang gadis sepertiga lebih kecil kemungkinannya pada 2014 untuk menjalani FGM dibandingkan 30 tahun yang lalu. Menurut sebuah studi pada 2018 yang diterbitkan dalam BMJ Global Health, prevalensi untuk kelompok berusia 0–14 tahun turun di Afrika Timur dari 71,4 persen pada 1995 menjadi 8 persen pada 2016; di Afrika Utara dari 57,7 persen pada 1990 menjadi 14,1 persen pada 2015; dan di Afrika Barat dari 73,6 persen pada 1996 menjadi 25,4 persen pada 2017. Jika laju penurunan saat ini terus berlanjut, menurut UNICEF pada tahun 2014, jumlah gadis yang mengalami FGM akan tetap meningkat karena pertumbuhan populasi; mereka memperkirakan bahwa angka tersebut akan meningkat dari 3,6 juta per tahun pada 2013 menjadi 4,1 juta pada 2050.
Daerah pedesaan, kekayaan, dan pendidikan
Survei menemukan bahwa FGM lebih umum terjadi di daerah pedesaan, lebih jarang ditemukan pada anak perempuan dari rumah terkaya di sebagian besar negara, dan (kecuali di Sudan dan Somalia) lebih jarang terjadi pada anak perempuan yang ibunya memiliki akses ke pendidikan dasar atau menengah/tinggi. Di Somalia dan Sudan situasinya terbalik: di Somalia akses para ibu ke pendidikan menengah/tinggi disertai dengan peningkatan prevalensi FGM pada anak perempuan mereka, dan di Sudan akses ke pendidikan apa pun disertai dengan kenaikan.
Usia dan etnisitas
Pemotongan kelamin tidak selalu merupakan upacara peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa, tapi sering dilakukan pada anak-anak yang usianya jauh lebih muda. Pemotongan paling sering dilakukan tak lama setelah lahir hingga usia 15 tahun. Pada separuh negara dengan angka-angka nasional yang diketahui, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun. Lebih dari 80 persen (dari pemotongan itu) berlangsung sebelum usia lima tahun di Nigeria, Mali, Eritrea, Ghana, dan Mauritania. Survei Demografi dan Kesehatan 1997 di Yaman menemukan bahwa 76 persen anak perempuan mengalami FGM dalam waktu dua minggu setelah dilahirkan. Persentase sebaliknya ditemukan di Somalia, Mesir, Chad, dan Republik Afrika Tengah, yaitu lebih dari 80 persen FGM dilangsungkan antara lima hingga 14 tahun. Selain jenis FGM, usia juga dikaitkan dengan etnis. Di Kenya, misalnya, suku Kisi melakukan FGM pada usia sekitar 10 tahun, sedangkan suku Kamba pada usia 16 tahun.
Prevalensi nasional suatu negara sering kali mencerminkan prevalensi subnasional yang tinggi pada etnis tertentu, dan bukan praktik FGM yang tersebar merata. Di Irak, misalnya, FGM ditemukan sebagian besar pada orang Kurdi di Arbil (prevalensi 58 persen dalam kelompok usia 15–49 pada tahun 2011), As-Sulaimaniyah (54 persen), dan Kirkuk (20 persen), padahal prevalensi nasional negara tersebut delapan persen. Praktik ini kadang-kadang merupakan penanda etnis, tetapi mungkin penerapannya berbeda di sepanjang garis perbatasan negara. Sebagai contoh, di wilayah timur laut Etiopia dan Kenya, yang berbagi perbatasan dengan Somalia, suku Somali mempraktikkan FGM pada tingkat yang sama dengan yang mereka lakukan di Somalia. Namun di Guinea, semua wanita suku Fula yang disurvei pada 2012 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami FGM, sementara hanya 12 persen suku Fula yang melakukannya di Chad. Di Nigeria, suku Fula adalah satu-satunya kelompok etnis besar di negara itu yang tidak mempraktikkan FGM.
Alasan
Dukungan dari sesama perempuan
— Stephanie Welsh, Newhouse News Service.
Dahabo Musa, seorang wanita Somali, menggambarkan infibulasi dalam sebuah puisi tahun 1988 sebagai "tiga kesengsaraan wanita": prosedur itu sendiri, malam pernikahan ketika kelamin wanita dipotong hingga terbuka, kemudian persalinan ketika kelaminnya dipotong lagi. Terlepas dari penderitaan yang nyata, pada praktiknya perempuanlah yang membela dan melaksanakan FGM. Antropolog Rose Oldfield Hayes pada tahun 1975 menulis bahwa lelaki Sudan berpendidikan yang tidak ingin anak perempuan mereka diinfibulasi (lebih memilih klitoridektomi) akan mendapati bahwa gadis-gadis tersebut telah dijahit setelah mereka dibawa oleh nenek mereka untuk mengunjungi kerabat.Gerry Mackie membandingkan praktik ini dengan tradisi mengikat kaki. Seperti FGM, pengikatan kaki dilakukan pada gadis-gadis muda, dilakukan kepada hampir semua gadis di tempat tradisi ini dipraktikkan, dikaitkan dengan ide-ide tentang kehormatan, kesucian, dan kepantasan pernikahan, serta "didukung dan disebarkan" oleh wanita.
Praktisi FGM melihat prosedur ini sebagai penanda, tidak hanya batas etnis tetapi juga perbedaan gender. Menurut pandangan ini, sunat pada laki-laki mendefeminisasi laki-laki sedangkan FGM mendemaskulinasi perempuan.Fuambai Ahmadu, seorang antropolog dan anggota suku Kono di Sierra Leone, yang pada 1992 menjalani klitoridektomi sebagai orang dewasa selama inisiasi masyarakat Sande, pada tahun 2000 berpendapat bahwa persepsi "klitoris penting bagi seksualitas wanita" merupakan anggapan yang berpusat pada pria. Menurutnya, simbolisme perempuan Afrika justru berputar di sekitar konsep rahim. Sementara itu, infibulasi terkait dengan gagasan tentang penutupan dan kesuburan. "Pemotongan kelamin melengkapi definisi sosial tentang jenis kelamin anak dengan menghilangkan jejak eksternal androgini," tulis Janice Boddy pada 2007. "Tubuh wanita kemudian disembunyikan, ditutup, dan darah produktifnya terikat di dalamnya; tubuh laki-laki ditunjukkan, dibuka, dan diekspos."
Di komunitas yang biasa melangsungkan infibulasi, ada kecenderungan untuk menjadikan alat kelamin wanita lebih halus, kering, dan tidak berbau, dan baik wanita maupun pria mungkin menganggap vulva alami itu menjijikkan. Beberapa pria tampaknya menikmati upaya menembus infibulasi. Preferensi lokal untuk melakukan seks kering menyebabkan wanita memasukkan zat ke dalam vagina untuk mengurangi lubrikasi, termasuk daun, kulit pohon, pasta gigi, dan mentol gosok Vicks. WHO memasukkan praktik ini dalam FGM Tipe IV, karena penambahan gesekan selama hubungan intim dapat menyebabkan laserasi dan meningkatkan risiko infeksi. Karena tampilan vulva infibulasi yang halus, ada juga kepercayaan bahwa infibulasi meningkatkan higiene.
Berdasarkan hasil survei, alasan yang paling sering dicetuskan oleh wanita untuk membela FGM adalah penerimaan sosial, agama, kebersihan, pelestarian keperawanan, penerimaan dalam pernikahan, dan peningkatan kenikmatan seksual pria. Dalam sebuah penelitian di Sudan bagian utara yang diterbitkan pada tahun 1983, hanya 17,4 persen wanita yang menentang FGM (558 dari 3.210), dan sebagian besar juga lebih memilih eksisi dan infibulasi alih-alih klitoridektomi. Sikap perempuan terhadap FGM sendiri berubah secara perlahan. Di Sudan pada 2010, 42 persen wanita yang pernah mendengar FGM mengatakan praktik ini harus dilanjutkan. Dalam beberapa survei sejak 2006, lebih dari 50 persen wanita di Mali, Guinea, Sierra Leone, Somalia, Gambia, dan Mesir mendukung kelanjutan FGM, sementara di tempat lain di Afrika, Irak, dan Yaman sebagian besar mengatakan praktik FGM sebaiknya diakhiri, meskipun di beberapa negara hanya dengan selisih yang tipis.
Kewajiban sosial dan akses informasi yang buruk
Terhadap argumen bahwa perempuan rela memilih FGM untuk anak perempuan mereka, UNICEF menyebut praktik tersebut "konvensi sosial yang ditegakkan sendiri"; dalam kata lain, keluarga-keluarga sering kali merasa harus mengikuti kebiasaan FGM agar anak perempuan mereka tidak dikucilkan.Ellen Gruenbaum melaporkan bahwa di Sudan pada tahun 1970-an, gadis-gadis kelompok etnis Arab yang disunat akan mengejek gadis-gadis Zarma yang tidak disunat dengan panggilan Ya, Ghalfa! ("Hei, kotor!"). Gadis-gadis Zarma akan menjawab Ya, Mutmura! (Mutmara adalah lubang penyimpanan biji-bijian yang terus-menerus dibuka dan ditutup, seperti wanita infibulasi). Meskipun melemparkan penghinaan kembali, gadis-gadis Zabarma akan bertanya kepada ibu mereka, "Kenapa sih? Tidakkah kita memiliki pisau cukur seperti orang-orang Arab?"
Perempuan sering kali tidak mengaitkan dampak negatif FGM dengan prosedur itu sendiri akibat kurangnya informasi dan juga karena mereka yang menyunat mengecilkan hubungan sebab-akibat yang ada. Lala Baldé, presiden sebuah perkumpulan wanita di Medina Cherif, sebuah desa di Senegal, mengatakan kepada Mackie pada tahun 1998 bahwa ketika gadis-gadis jatuh sakit atau meninggal, hal itu dikaitkan dengan roh jahat. Ketika diberi tahu tentang hubungan sebab-akibat antara FGM dengan kesehatan yang buruk, Mackie menulis, para wanita itu merasa hancur dan menangis. Ia berpendapat bahwa survei mengenai dukungan terhadap FGM yang dilakukan sebelum dan sesudah informasi ini disampaikan akan menunjukkan hasil yang berbeda. Organisasi nirlaba Amerika Serikat, Tostan, yang didirikan oleh Molly Melching pada tahun 1991, memperkenalkan program pemberdayaan masyarakat di beberapa negara yang berfokus pada demokrasi setempat, literasi, dan pendidikan tentang layanan kesehatan, yang memberi perempuan pemahaman untuk membuat keputusan sendiri. Pada tahun 1997, dengan mengikuti program Tostan, Malicounda Bambara di Senegal menjadi desa pertama yang meninggalkan FGM. Pada Agustus 2019, 8.800 komunitas di delapan negara telah berjanji untuk meninggalkan FGM dan pernikahan anak.
Agama
Pemotongan kelamin perempuan dilakukan oleh banyak kelompok agama: beberapa orang Kristen, beberapa Muslim, beberapa orang Yahudi Etiopia, dan agama-agama tradisional Afrika tertentu. Beberapa survei menunjukkan luasnya kepercayaan, khususnya di Mali, Mauritania, Guinea, dan Mesir, bahwa FGM merupakan persyaratan agama. Gruenbaum berpendapat bahwa praktisi FGM mungkin tidak membedakan antara agama, tradisi, dan kesucian, sehingga sulit untuk menafsirkan data.
Di Afrika timur laut, FGM telah ada sejak zaman pra-Islam, tetapi praktiknya telah dikaitkan dengan Islam karena agama ini menitikberatkan kesucian wanita. Menurut laporan UNICEF pada 2013, setidaknya 10 persen wanita Muslim di 18 negara Afrika pernah mengalami FGM, dan di 13 negara di antaranya, angkanya naik menjadi 50–99 persen. Praktik FGM tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, sementara beberapa hadis da'if (lemah) memuji FGM sebagai tindakan "mulia" (makrumah) tetapi tidak diharuskan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, sedangkan mazhab Syafi'i mewajibkan FGM dengan memotong kulit penutup glans klitoris. Pada tahun 2007, Dewan Tertinggi Penelitian Islam Universitas Al-Azhar di Kairo memutuskan bahwa FGM "tidak memiliki dasar dalam hukum Islam inti atau ketentuan parsialnya". Di sisi lain, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa FGM merupakan tindakan makrumah dan ibadah yang dianjurkan, walaupun MUI juga menyatakan bahwa khitan perempuan hanya dapat menghilangkan penutup glans klitoris saja dan tidak boleh memotong seluruh klitoris.
Dalam agama Kristen, tidak ada penyebutan FGM dalam Alkitab. Misionaris Kristen di Afrika termasuk pihak yang pertama yang menentang FGM, tetapi komunitas Kristen di Afrika mempraktikkannya. Pada 2013, UNICEF mengidentifikasi 19 negara Afrika dengan setidaknya 10 persen wanita dan gadis Kristen berusia 15 hingga 49 tahun yang menjalani FGM; di Niger, 55 persen wanita dan gadis Kristen menjalani FGM, dibandingkan dengan dua persen pada Muslim. Sementara itu, satu-satunya kelompok Yahudi yang diketahui mempraktikkan FGM adalah Yahudi Etiopia. Yudaisme mensyaratkan sunat pada pria tetapi tidak mengizinkan FGM. FGM juga dipraktikkan oleh kelompok animisme, terutama di Guinea dan Mali.
Sejarah
Zaman Kuno
Tetapi jika seorang pria ingin tahu bagaimana caranya hidup, ia harus melafalkannya [mantra magis] setiap hari, setelah dagingnya digosok dengan b3d [zat yang tidak diketahui] dari seorang gadis yang tidak disirkumsisi ['m't] dan serpihan dari kulit [šnft] dari seorang pria botak yang tidak disirkumsisi.
—Dari sebuah sarkofagus Kerajaan Pertengahan Mesir, s. 1991–1786 SM.
Asal usul FGM tidak diketahui. Gerry Mackie menduga bahwa, karena distribusi FGM timur-barat dan utara-selatan di Afrika bertemu di Sudan, infibulasi mungkin dimulai di sana sejak peradaban Meroë (sekitar 800 SM – 350 M), sebelum kebangkitan Islam, untuk meningkatkan keyakinan akan status keayahan seseorang. Menurut sejarawan Mary Knight, Mantra 1117 (sekitar 1991–1786 SM) dari Teks Peti Mati Mesir Kuno dapat merujuk pada hieroglif mengenai seorang gadis yang tidak disunat ('m't):
|
Mantra ini ditemukan di sarkofagus Sit-hedjhotep, sekarang di Museum Mesir, dan berasal dari Kerajaan Pertengahan Mesir. Usulan sunat pada seorang gadis Mesir, Tathemis, juga disebutkan pada papirus Yunani, dari 163 SM, di British Museum: "Beberapa saat setelah ini, Nephoris [ibu Tathemis] menipu saya, karena khawatir bahwa saat itu adalah waktu bagi Tathemis untuk disunat, seperti kebiasaan di antara orang-orang Mesir."
Pemeriksaan mumi tidak menunjukkan bukti FGM. Mengutip ahli patologi Australia Grafton Elliot Smith, yang memeriksa ratusan mumi pada awal abad ke-20, Knight menulis bahwa daerah kelamin mumi mungkin menyerupai FGM Tipe III karena selama mumifikasi, kulit labia luar ditarik ke arah anus untuk menutupi celah pudendal, mungkin untuk mencegah pelanggaran seksual. Knight juga menyatakan bahwa tidak mungkin untuk menentukan apakah FGM Tipe I atau II telah dilakukan karena jaringan lunak telah memburuk atau dihilangkan oleh pembalsem.
Ahli geografi Yunani Strabo (sekitar 64 SM – 23 M) menulis tentang FGM setelah mengunjungi Mesir sekitar 25 SM: "Ini adalah salah satu kebiasaan yang dijalankan dengan semangat yang begitu besar oleh mereka [orang Mesir]: untuk membesarkan setiap anak yang dilahirkan dan untuk melakukan sirkumsisi [peritemnein] pada laki-laki dan memotong [ektemnein] perempuan ..."Filo dari Aleksandria (sekitar 20 SM – 50 M) juga menulis referensi tentang hal itu: "orang Mesir, akibat kebiasaan negara mereka, menyunat pemuda-pemudi yang sudah bisa menikah di usia empat belas (tahun), ketika laki-laki mulai mendapatkan benih, dan perempuan memiliki aliran menstruasi." Disebutkan secara singkat dalam sebuah karya yang dikaitkan dengan tabib Yunani Galenus (129 – sekitar 200 M): "Ketika [klitoris] sangat menonjol pada wanita muda mereka, orang Mesir menganggap pantas untuk memotongnya." Tabib Yunani lainnya, Aetios dari Amida (pertengahan abad ke-5 hingga pertengahan ke-6 M), menuliskan lebih banyak detail dalam buku 16 dari Enam Belas Buku tentang Kedokteran, mengutip keterangan dokter Philomenes. Prosedur ini dilakukan jika klitoris, atau nymphê, tumbuh terlalu besar atau memicu hasrat seksual ketika bersentuhan dengan pakaian. "Mengenai hal ini, tampaknya pantas bagi orang Mesir untuk menghilangkannya sebelum menjadi sangat membesar," tulis Aëtius, "terutama ketika para gadis hendak menikah":
Operasi dilakukan dengan cara ini: Mintalah gadis tersebut duduk di kursi sementara seorang pemuda berotot berdiri di belakangnya meletakkan tangannya di bawah paha gadis itu. Mintalah pemuda membentangkan dan memegang kaki dan seluruh tubuh gadis. Penyunat berdiri di depan dan memegang klitoris dengan forseps bermulut lebar di tangan kirinya dan merentangkannya ke luar, sementara dengan tangan kanan, ia memotongnya pada titik di samping penjepit forseps. Adalah hal yang pantas untuk menyisakan bagian yang tidak dipotong, yang berukuran seperti lapisan di antara lubang hidung, sehingga pemotongan hanya mengambil bagian yang berlebih; seperti yang saya katakan, bagian yang akan dihilangkan adalah pada titik tepat di atas penjepit forseps. Karena klitoris merupakan struktur yang menyerupai kulit dan dapat meregang berlebihan, jangan memotong terlalu banyak, karena fistula kemih dapat terjadi akibat pemotongan yang terlalu dalam.
Area kelamin kemudian dibersihkan dengan spons, bubuk kemenyan arab, dan anggur atau air dingin, dan dibungkus dengan perban linen yang dicelupkan ke dalam cuka, sampai hari ketujuh ketika kalamin, kelopak mawar, lubang kurma, atau "bubuk kelamin yang terbuat dari tanah liat yang dipanggang" dapat diberikan.
Terlepas dari asal-usul praktik FGM, infibulasi telah dikaitkan dengan perbudakan. Mackie mengutip misionaris Portugis João dos Santos, yang pada 1609 menulis tentang sebuah kelompok di dekat Mogadishu yang memiliki "keinginan untuk menjahit perempuan mereka, terutama budak mereka yang masih muda untuk membuat mereka tidak dapat dibuahi, yang membuat para budak ini dijual lebih mahal, baik untuk kesucian mereka dan untuk meningkatkan kepercayaan yang diberikan oleh tuan mereka". Oleh sebab itu, Mackie berpendapat, "praktik yang terkait dengan perbudakan perempuan yang memalukan, menjadi lambang kehormatan".
Eropa dan Amerika Serikat
Dokter kandungan di Eropa abad ke-19 dan Amerika Serikat menghilangkan klitoris untuk mengobati kegilaan dan masturbasi. Seorang dokter Inggris, Robert Thomas, mengusulkan klitoridektomi sebagai obat untuk nimfomania pada tahun 1813. Pada tahun 1825, jurnal The Lancet mendeskripsikan sebuah klitoridektomi yang dilakukan pada tahun 1822 di Berlin oleh Karl Ferdinand von Graefe pada seorang gadis berusia 15 tahun yang melakukan masturbasi secara berlebihan.
Isaac Baker Brown, seorang ginekolog Inggris, presiden Perhimpunan Medis London dan salah satu pendiri Rumah Sakit St. Mary pada tahun 1845, percaya bahwa masturbasi, atau "iritasi tidak wajar" pada klitoris, menyebabkan histeria, iritasi tulang belakang, kejang, kebodohan, mania, dan kematian. Karena itu ia "mulai berupaya untuk menghilangkan klitoris setiap kali ia memiliki kesempatan untuk melakukannya", seperti yang tersurat dalam obituarinya. Brown melakukan beberapa klitoridektomi antara 1859 dan 1866. Di Amerika Serikat, J. Marion Sims mengikuti jejak Brown dan pada tahun 1862 memotong leher rahim wanita dan menghilangkan klitorisnya, "untuk menghilangkan kondisi gugup atau histeris seperti yang direkomendasikan oleh Baker Brown". Ketika Brown menerbitkan pandangannya dalam Mengenai Ketersembuhan Beberapa Bentuk Tertentu dari Kegilaan, Epilepsi, Katalepsi, dan Histeria pada Wanita (1866), dokter di London menuduhnya melakukan perdukunan dan mengeluarkannya dari Perhimpunan Kebidanan London.
Kemudian pada abad ke-19, A. J. Bloch, seorang ahli bedah di New Orleans, menghilangkan klitoris seorang gadis berusia dua tahun yang dilaporkan melakukan masturbasi. Menurut sebuah artikel tahun 1985 di jurnal Obstetrical & Gynecological Survey, klitoridektomi dilakukan di Amerika Serikat pada 1960-an untuk mengobati histeria, erotomania, dan lesbianisme. Dari pertengahan 1950-an, James C. Burt, seorang ginekolog di Dayton, Ohio, melakukan perbaikan episiotomi yang tidak standar setelah melahirkan dengan menambahkan lebih banyak jahitan untuk membuat lubang vagina menjadi lebih kecil. Dari tahun 1966 hingga 1989, ia melakukan "operasi cinta" dengan memotong otot pubokoksigeus wanita, memosisikan ulang vagina dan uretra, dan melepas tudung klitoris, sehingga membuat area kelamin mereka lebih sesuai, dalam pandangannya, untuk hubungan seksual dalam posisi misionaris. "Perempuan secara struktural tidak memadai untuk melakukan hubungan intim," tulisnya; ia mengatakan akan mengubah mereka menjadi "tikus kecil yang bersemangat". Pada 1960-an dan 1970-an, ia melakukan prosedur ini tanpa persetujuan sambil memperbaiki episiotomi dan melakukan histerektomi dan operasi lainnya; Burt mengatakan bahwa ia telah melaksanakan praktik tersebut terhadap 4.000 wanita pada tahun 1975. Setelah menerima banyak keluhan, ia diminta pada tahun 1989 untuk berhenti mempraktikkan kedokteran di Amerika Serikat.
Penentangan
Penentangan kolonial di Kenya
Pisau kecil di sarungnya
Supaya mereka bertarung dengan gereja,
Waktunya telah tiba.
Sesepuh (dari gereja)
Ketika Kenyatta datang
Anda akan diberikan pakaian wanita
Dan Anda harus memasak makanan untuknya..
— Dari Muthirigu (1929), dansa-tari Kikuyu yang melawan penentangan gereja terhadap FGM.
Misionaris Protestan di Afrika Timur Britania (sekarang Kenya) mulai berkampanye menentang FGM pada awal abad ke-20, ketika Dr. John Arthur bergabung dengan Misi Gereja Skotlandia (CSM) di wilayah suku Kikuyu yang merupakan kelompok etnis utama negara itu. Sebagai penanda etnis yang penting, praktik FGM dikenal oleh Kikuyu sebagai irua untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Praktik FGM di kalangan suku Kikuyu melibatkan eksisi (Tipe II) untuk anak perempuan dan penghilangan kulup untuk anak laki-laki. Perempuan Kikuyu (irugu) yang tidak disunat merupakan orang buangan.
Jomo Kenyatta, sekretaris jenderal Asosiasi Pusat Kikuyu dan kemudian Perdana Menteri Kenya yang pertama, menulis pada tahun 1938 bahwa, bagi Kikuyu, penerapan FGM adalah "conditio sine qua non dari seluruh ajaran hukum kesukuan, agama, dan moralitas". Pria atau wanita Kikuyu yang pantas tidak akan menikah atau melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak disirkumsisi, tulisnya. Tanggung jawab seorang wanita terhadap sukunya dimulai dengan inisiasinya. Usia dan tempatnya di dalam sejarah suku dapat ditilik kembali ke hari tersebut, dan kelompok gadis yang menyertai pemotongannya dinamai sesuai dengan peristiwa terkini, sebuah tradisi lisan yang memungkinkan Kikuyu melacak orang dan peristiwa yang terjadi ratusan tahun yang lalu.
Dimulai dengan CSM pada tahun 1925, beberapa gereja misionaris menyatakan bahwa FGM dilarang untuk orang Kristen Afrika; CSM mengumumkan bahwa orang Afrika yang mempraktikkannya akan diekskomunikasi, yang mengakibatkan ratusan orang pergi atau diusir. Pada tahun 1929, Dewan Misionaris Kenya mulai menyebut FGM sebagai "mutilasi seksual wanita", dan sikap seseorang terhadap praktik itu menjadi ujian kesetiaan, baik ke gereja-gereja Kristen maupun ke Asosiasi Pusat Kikuyu. Perselisihan itu mengubah FGM menjadi titik fokus gerakan kemerdekaan Kenya; periode 1929–1931 dikenal dalam historiografi negara itu sebagai kontroversi sunat perempuan. Ketika Hulda Stumpf, seorang misionaris Amerika yang menentang FGM di sekolah khusus perempuan yang ia bantu jalankan, dibunuh pada tahun 1930, Edward Grigg, Gubernur Kenya, mengatakan kepada Kantor Kolonial Inggris bahwa si pembunuh telah mencoba untuk menyunatnya.
Ada beberapa penentangan dari perempuan Kenya sendiri. Di Karatina, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka Ngo ya Tuiritu ("Perisai Gadis Muda") menyurati Dewan Penduduk Asli Nyeri Selatan pada tanggal 25 Desember 1931: "Kami dari Ngo ya Tuiritu mendengar bahwa ada laki-laki yang berbicara tentang sunat perempuan, dan kami heran karena mereka (laki-laki) tidak melahirkan dan merasakan rasa sakit dan bahkan beberapa mati dan bahkan yang lain menjadi tidak subur, dan penyebab utamanya adalah sunat. Karena itu, masalah sunat tidak boleh dipaksakan. Orang-orang ditangkapi seperti domba; seseorang harus dibiarkan memutuskan dengan caranya sendiri apakah setuju untuk disunat atau tidak tanpa pendiktean terhadap tubuhnya sendiri."
Di tempat lain, dukungan untuk praktik FGM dari wanita sangat kuat. Pada tahun 1956 di Meru, Kenya bagian timur, ketika dewan tetua pria (Njuri Nchecke) mengumumkan larangan terhadap FGM pada tahun 1956, ribuan anak perempuan saling memotong alat kelamin masing-masing dengan pisau cukur selama tiga tahun ke depan sebagai simbol pembangkangan. Gerakan itu kemudian dikenal sebagai Ngaitana ("Aku akan menyunat diriku sendiri"), karena untuk menghindari menyebut nama teman-teman mereka, gadis-gadis itu berkata mereka telah memotong diri mereka sendiri. Sejarawan Lynn Thomas menganggap periode ini signifikan dalam sejarah FGM karena para korbannya juga merupakan pelakunya. FGM akhirnya dilarang di Kenya pada tahun 2001, meskipun praktik ini terus berlanjut, dilaporkan akibat dorongan dari wanita yang lebih tua.
Tumbuhnya penentangan
Salah satu kampanye penentangan FGM paling awal dimulai di Mesir pada 1920-an, ketika Perhimpunan Dokter Mesir menyerukan larangan. Kampanye paralel juga berlangsung di Sudan yang dijalankan oleh para pemimpin agama dan wanita Inggris. Infibulasi dilarang di sana pada tahun 1946, tetapi aturan tersebut tidak populer dan diabaikan. Pemerintah Mesir melarang infibulasi di rumah sakit yang dikelola pemerintah pada tahun 1959, tetapi memungkinkan klitoridektomi parsial jika orang tua memintanya.
Pada tahun 1959, PBB meminta WHO untuk menyelidiki FGM, tetapi WHO menjawab bahwa FGM bukan masalah medis. Kaum feminis mengangkat masalah ini sepanjang tahun 1970-an. Dokter dan feminis Mesir Nawal El Saadawi mengkritik FGM dalam bukunya, Wanita dan Seks (1972); buku ini dilarang di Mesir dan El Saadawi kehilangan pekerjaannya sebagai direktur jenderal kesehatan masyarakat. Ia melanjutkan pembahasan ini pada sebuah bab, "Sirkumsisi Gadis-Gadis", dalam bukunya, Wajah Tersembunyi Hawa: Wanita di Dunia Arab (1980), yang menggambarkan klitoridektominya sendiri ketika ia berusia enam tahun:
Saya tidak tahu apa yang telah mereka potong dari tubuh saya, dan saya tidak berusaha mencari tahu. Saya hanya menangis dan memanggil ibu saya untuk meminta bantuan. Tetapi kejutan terburuk dari semua ini adalah ketika saya melihat sekeliling dan mendapati ibu saya berdiri di samping saya. Ya, itu memang dia, saya tidak mungkin salah, dia ada di situ, tepat di tengah-tengah orang asing ini, berbicara dan tersenyum kepada mereka, seolah-olah mereka tidak ikut serta dalam penjagalan putrinya hanya beberapa saat yang lalu.
Pada tahun 1975, Rose Oldfield Hayes, seorang ilmuwan sosial Amerika, menjadi akademisi perempuan pertama yang menerbitkan tulisan terperinci tentang FGM, dibantu oleh kemampuannya untuk berdiskusi langsung dengan wanita di Sudan. Artikelnya di jurnal American Ethnologist menyebutnya "mutilasi alat kelamin wanita" dan bukan sunat wanita, yang membuat artikel tersebut mendapatkan perhatian akademis yang lebih luas.Edna Adan Ismail, yang saat itu bekerja di Kementerian Kesehatan Somalia, membahas konsekuensi kesehatan FGM pada tahun 1977 dengan Organisasi Demokrasi Wanita Somalia. Dua tahun kemudian, Fran Hosken, seorang feminis Austria-Amerika, menerbitkan Laporan Hosken: Mutilasi Kelamin dan Seksual terhadap Wanita (1979), yang untuk pertama kalinya menyajikan data secara global. Ia memperkirakan bahwa 110.529.000 wanita di 20 negara Afrika telah mengalami FGM. Data tersebut spekulatif tetapi sejalan dengan survei selanjutnya. Hosken menggambarkan FGM sebagai "tempat latihan untuk kekerasan pria", dan ia menuduh praktisi FGM wanita "berpartisipasi dalam penghancuran kelompok mereka sendiri". Pemilihan bahasa tersebut mengakibatkan keretakan antara feminis Barat dan Afrika; Wanita Afrika memboikot sesi yang menampilkan Hosken selama Konferensi Dunia tentang Wanita di Kopenhagen pada Juli 1980.
Pada tahun 1979, WHO menggelar seminar "Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Wanita dan Anak-anak" di Khartoum, Sudan, dan pada tahun 1981, juga di Khartoum, 150 akademisi dan aktivis menandatangani ikrar untuk melawan FGM setelah acara lokakarya yang diadakan oleh Asosiasi Ilmiah Babikar Badri untuk Studi Wanita (BBSAWS), "Sunat Perempuan Memutilasi dan Membahayakan Wanita - Lawanlah!" Lokakarya BBSAWS lainnya pada tahun 1984 mengundang komunitas internasional untuk menuliskan pernyataan bersama untuk PBB. Pernyataan tersebut merekomendasikan bahwa "tujuan semua wanita Afrika" seharusnya adalah pemberantasan FGM dan bahwa, untuk memutuskan hubungan antara FGM dan agama, klitoridektomi sebaiknya tidak lagi disebut sebagai sunah.
Komite Inter-Afrika tentang Praktik-Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Perempuan dan Anak-Anak, yang didirikan pada 1984 di Dakar, Senegal, menyerukan diakhirinya praktik tersebut, seperti yang dilakukan Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia PBB di Wina pada tahun 1993. Konferensi tersebut mencantumkan FGM sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita dan menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia alih-alih sekadar masalah medis. Sepanjang 1990-an dan 2000-an, pemerintah di Afrika dan Timur Tengah mengesahkan undang-undang yang melarang atau membatasi FGM. Pada tahun 2003, Uni Afrika meratifikasi Protokol Maputo tentang hak-hak perempuan yang mendukung penghapusan FGM. Pada 2015, undang-undang yang membatasi FGM telah disahkan di setidaknya 23 dari 27 negara di Afrika yang mempraktikkan FGM, meskipun beberapa di antaranya tidak sampai melarang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pada bulan Desember 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkan FGM dalam resolusi 48/104, Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, dan sejak 2003 mensponsori Hari Anti-Sunat Wanita Sedunia, yang diadakan setiap 6 Februari. Pada tahun 2003, UNICEF mulai mempromosikan pendekatan norma sosial berbasis bukti, yang menggunakan ide-ide dari teori permainan tentang bagaimana masyarakat mencapai keputusan tentang FGM dan didasarkan pada karya Gerry Mackie perihal penghapusan praktik pengikatan kaki di Tiongkok. Pada tahun 2005, Pusat Penelitian Innocenti UNICEF di Firenze menerbitkan laporan pertamanya tentang FGM. UNFPA dan UNICEF meluncurkan program bersama di Afrika pada 2007 untuk mengurangi FGM sebesar 40 persen pada kelompok usia 0–15 dan menghilangkannya dari setidaknya satu negara pada 2012, misi yang tidak terwujud dan yang kemudian mereka gambarkan sebagai tidak realistis. Pada tahun 2008, beberapa badan PBB mengakui FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dan pada 2010 PBB meminta para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melaksanakan prosedur tersebut, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan pengikiran simbolis. Pada tahun 2012, Majelis Umum menerbitkan resolusi 67/146, "Mengintensifkan upaya global untuk menghilangkan pemotongan kelamin wanita".
Negara-negara yang tidak mempraktikkan
Gambaran umum
Imigrasi menyebarkan praktik FGM ke Australia, Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Utara, yang semuanya melarang atau membatasi praktik tersebut hanya untuk orang dewasa yang mau melakukannya. Swedia melarang FGM pada 1982 melalui Undang-Undang Pelarangan Pemotongan Kelamin Perempuan dan menjadi negara barat pertama yang melakukannya. Beberapa negara yang pernah menjadi penjajah, termasuk Belgia, Inggris, Prancis, dan Belanda, mengesahkan undang-undang baru atau menegaskan bahwa aturan mengenai FGM termasuk dalam cakupan undang-undang yang ada. Pada 2013, undang-undang yang melarang FGM telah disahkan di 33 negara di luar Afrika dan Timur Tengah.
Amerika Utara
Di Amerika Serikat diperkirakan 513.000 wanita dan gadis mengalami atau berisiko mengalami FGM pada tahun 2012. Seorang wanita Nigeria berhasil melawan perintah deportasi pada Maret 1994. Ia meminta "suaka budaya" dengan alasan bahwa putrinya (yang merupakan warga negara Amerika) masih muda dan mungkin akan mengalami FGM jika ia dipulangkan ke Nigeria. Pada tahun 1996, Fauziya Kasinga dari Togo menjadi orang pertama yang secara resmi diberikan suaka untuk melarikan diri dari FGM. Pada tahun yang sama, Undang-Undang Federal tentang Pemotongan Kelamin Wanita melarang FGM yang dilakukan atas dasar nonmedis terhadap anak di bawah umur, dan pada tahun 2013 Undang-Undang Transportasi untuk Pemotongan Kelamin Perempuan melarang orang membawa anak ke luar negeri untuk melakukan FGM. Pada tahun 2006, pelaku FGM untuk pertama kalinya dijatuhi hukuman di Amerika Serikat; Khalid Adem yang berasal dari Etiopia dihukum sepuluh tahun akibat kekerasan dan kekejaman terhadap anak-anak setelah memotong klitoris putrinya yang berusia dua tahun dengan gunting. Seorang hakim di pengadilan tingkat federal memutuskan pada 2018 bahwa Undang-Undang 1996 tidak konstitusional, dengan alasan bahwa FGM adalah "kegiatan kriminal lokal" yang harus diatur oleh negara bagian, bukan oleh kongres; ia membuat putusan tersebut dalam kasus yang terkait dengan anggota komunitas Dawoodi Bohra di Michigan yang dituduh melakukan FGM. Dua puluh empat negara bagian memiliki undang-undang yang melarang FGM pada 2016. American Academy of Pediatrics turut menentang semua bentuk praktik FGM, termasuk penusukan kulit klitoris.
Kanada menggolongkan FGM sebagai bentuk persekusi pada Juli 1994 setelah negara itu memberikan status pengungsi kepada Khadra Hassan Farah, yang melarikan diri dari Somalia untuk menghindari FGM terhadap putrinya. Pada tahun 1997, Pasal 268 Undang-undang Pidana Kanada diamendemen untuk melarang FGM kecuali jika "orang tersebut setidaknya berusia delapan belas tahun dan tidak ada kerusakan fisik yang diakibatkannya". Sampai Juli 2017, belum ada orang yang dijerat dengan pasal ini. Pejabat Kanada menyatakan keprihatinannya bahwa ribuan gadis Kanada berisiko menjalani "pemotongan saat liburan", ketika gadis-gadis tersebut dibawa ke luar negeri untuk menjalani prosedur FGM, tetapi tidak ada angka pasti untuk hal ini hingga tahun 2017.
Eropa
Menurut Parlemen Eropa, 500.000 wanita di Eropa telah menjalani FGM hingga Maret 2009. Di Prancis, hingga 30.000 wanita diperkirakan mengalaminya pada 1995. Menurut Colette Gallard, seorang penasihat keluarga berencana, ketika FGM pertama kali ditemukan di Prancis, reaksinya adalah bahwa orang Barat tidak boleh ikut campur. Sikap tersebut baru berubah setelah kematian dua gadis pada tahun 1982, salah satunya masih berusia tiga bulan. Pada tahun 1991, pengadilan Prancis memutuskan bahwa Konvensi Terkait Status Pengungsi menawarkan perlindungan kepada para korban FGM; keputusan itu mengikuti permohonan suaka dari Aminata Diop yang melarikan diri dari prosedur FGM di Mali. Praktik ini dilarang oleh beberapa pasal Undang-undang Pidana Prancis yang terkait dengan luka-luka yang menyebabkan mutilasi permanen atau penyiksaan. Tuntutan perdata pertama dilayangkan pada tahun 1982, dan penuntutan pidana pertama pada tahun 1993. Pada tahun 1999, seorang wanita dihukum delapan tahun penjara karena melakukan FGM pada 48 anak perempuan. Pada 2014, lebih dari 100 orang tua dan dua praktisi telah dituntut dalam lebih dari 40 kasus pidana.
Hingga 2011, sekitar 137.000 wanita dan gadis yang tinggal di Inggris dan Wales lahir di negara-negara tempat FGM dipraktikkan. Praktik FGM pada anak-anak atau orang dewasa dilarang oleh Undang-undang Larangan Sunat Perempuan 1985. Undang-undang ini digantikan oleh Undang-undang Pemotongan Kelamin Perempuan 2003 dan Undang-undang Larangan Pemotongan Kelamin Perempuan (Skotlandia) 2005, yang menambahkan larangan mengadakan FGM di luar negeri untuk warga negara atau penduduk tetap Inggris. Komite PBB tentang Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) pada Juli 2013 meminta pemerintah Britania Raya untuk "memastikan implementasi penuh dari undang-undang tentang FGM". Tuntutan pertama dilayangkan pada tahun 2014 terhadap seorang dokter dan seorang pria lainnya; dokter tersebut menjahit kembali seorang wanita yang diinfibulasi setelah sebelumnya membukanya untuk persalinan. Keduanya dibebaskan pada tahun 2015.
Kritik terhadap penentangan
Toleransi versus hak asasi manusia
Para antropolog menuduh para penentang FGM melakukan imperialisme budaya, sedangkan mereka sendiri dikritik akibat pandangan relativisme moral mereka dan juga karena mereka dianggap gagal membela gagasan hak asasi manusia yang universal (berlaku seantero jagad). Pakar antropologi Vicki Kirby mengkritik upaya menentang FGM sebagai suatu bentuk reduksionisme biologis yang gagal mempertimbangkan konteks budaya FGM di berbagai negara.
Orang Afrika yang keberatan dengan cara penentang FGM menyampaikan kritiknya menghadapi risiko dicap sebagai pembela praktik tersebut. Ahli teori feminis Obioma Nnaemeka, yang sangat menentang FGM, berpendapat pada 2005 bahwa penggantian nama menjadi mutilasi kelamin perempuan telah menghasilkan makna tersirat mengenai "budaya Afrika dan Muslim yang barbar" dan peran Barat dalam memberantasnya. Menurut profesor hukum Uganda Sylvia Tamale, penolakan Barat terhadap FGM pada mulanya berasal dari tindakan menghakimi yang berlandaskan pada nilai Yahudi-Kristen bahwa praktik seksual dan keluarga Afrika (yang tidak hanya meliputi FGM tetapi juga seks kering, poligini, mahar, dan perkawinan levirat) perlu dikoreksi. Ada pula ahli yang menyoroti voyeurisme dalam tindakan memperlakukan tubuh perempuan seolah sebagai objek pameran. Contohnya meliputi penggunaan gambar vulva wanita setelah FGM atau gadis yang menjalani prosedur FGM. Foto-foto pemenang penghargaan Pulitzer tahun 1996 yang menampilkan seorang gadis Kenya berusia 16 tahun yang menjalani FGM diterbitkan oleh 12 surat kabar Amerika, tanpa persetujuannya untuk difoto dan juga tanpa izin untuk diterbitkan di media massa.
Debat ini menyoroti ketegangan antara antropologi dan feminisme; antropologi berfokus pada toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda, sementara feminisme mencurahkan perhatian pada persamaan hak untuk perempuan. Menurut antropolog Christine Walley, literatur anti-FGM umumnya menggambarkan perempuan Afrika sebagai korban kesadaran palsu yang membuat mereka berpartisipasi dalam penindasan mereka sendiri. Pandangan semacam ini didukung oleh kaum feminis pada 1970-an dan 1980-an, termasuk Fran Hosken, Mary Daly, dan Hanny Lightfoot-Klein. Hal ini mendorong Asosiasi Antropolog Prancis untuk memberikan pernyataan pada tahun 1981, pada puncak perdebatan awal mengenai FGM, bahwa "[pandangan] feminisme tertentu membangkitkan kembali kesombongan moralistik kolonialisme zaman dahulu". Hingga saat ini, praktik FGM masih berlangsung, dengan pro-kontra masing-masing, belum ada kebijakan yang mengatur, namun para pembela hak perempuan menolak pelaksanaan FGM dengan dalih otoritas terhadap tubuh personal.
Perbandingan dengan prosedur lain
Prosedur kosmetik
Nnaemeka berpendapat bahwa pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa tubuh wanita terus menerus menjadi sasaran "pelecehan dan penghinaan", termasuk di Barat. Beberapa penulis telah melihat kemiripan antara FGM dengan prosedur kosmetik. Ronán Conroy dari Royal College of Surgeons di Irlandia menulis pada 2006 bahwa prosedur kosmetik pada kelamin "mendorong kemajuan" FGM karena wanita seolah diajak untuk menganggap keragaman alamiah sebagai suatu kecacatan. Antropolog Fadwa El Guindi membandingkan FGM dengan pembesaran payudara, yang dianggap telah menomorduakan fungsi keibuan payudara dan menomorsatukan kenikmatan seksual pria. Tokoh feminis Prancis Benoîte Groult mengemukakan pendapat yang serupa pada tahun 1975. Ia mengatakan bahwa FGM dan bedah kosmetik adalah praktik yang seksis dan patriarkal. Sementara itu, antropolog medis Carla Obermeyer berpendapat pada tahun 1999 bahwa FGM mungkin dianggap penting dalam konteks sosial seperti halnya rhinoplasti dan sunat pada pria. Sebagai contoh, meskipun sudah dilarang pada tahun 2007, wanita Mesir yang menginginkan FGM untuk anak perempuan mereka menginginkan prosedur tajmeel amalyet (bedah kosmetik) untuk menghilangkan jaringan kelamin yang dianggap berlebih.
Prosedur kosmetik seperti labiaplasti dan pengurangan tudung klitoris termasuk dalam definisi FGM menurut WHO, yang dirumuskan untuk menghindari upaya untuk mengakali definisi tersebut, tetapi WHO mencatat bahwa praktik elektif ini umumnya tidak dianggap sebagai FGM. Beberapa undang-undang yang melarang FGM, seperti di Kanada dan AS, hanya melindungi anak di bawah umur, tetapi beberapa negara, seperti Swedia dan Inggris, melarang FGM terlepas ada tidaknya persetujuan dari wanita itu sendiri. Swedia, misalnya, melarang operasi "pada organ seksual wanita bagian luar dengan maksud untuk memutilasinya atau menghasilkan beberapa perubahan permanen lain padanya, terlepas dari apakah persetujuan telah diberikan atau tidak untuk operasi tersebut". Ginekolog Birgitta Essén dan antropolog Sara Johnsdotter berpendapat bahwa undang-undang tersebut dirumuskan seolah membedakan antara alat kelamin Barat dan Afrika, dan menganggap hanya perempuan Afrika (seperti mereka yang menginginkan reinfibulasi setelah melahirkan) yang tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri.
Filsuf Martha Nussbaum berpendapat bahwa masalah utama FGM adalah bahwa kebanyakan FGM dilakukan pada anak-anak dengan menggunakan kekuatan fisik. Menurut Nussbaum, tekanan sosial dan kekuatan fisik memiliki perbedaan dari segi moral dan hukum, seperti halnya rayuan berbeda dengan pemerkosaan. Ia berpendapat lebih lanjut bahwa literasi perempuan di negara-negara yang menerapkan FGM umumnya lebih buruk dibandingkan negara-negara maju, dan hal ini menyulitkan mereka untuk memilih berdasarkan pengetahuan yang cukup.
Anak interseks dan sunat laki-laki
Beberapa ahli berpendapat bahwa hak anak-anak tidak hanya dilanggar oleh FGM tetapi juga oleh perubahan kelamin terhadap anak interseks, yang dilahirkan dengan anomali yang kemudian "dikoreksi" atas pilihan dokter. Berbagai argumen telah dikemukakan bahwa sunat laki-laki yang tidak dilakukan atas dasar medis (seperti yang dipraktikkan oleh umat Muslim, Yahudi, dan beberapa kelompok Kristen) juga melanggar hak-hak anak. Secara global sekitar 30 persen pria berusia di atas 15 tahun disunat; dari jumlah tersebut, sekitar dua pertiganya adalah Muslim. Setidaknya setengah dari populasi pria di Amerika Serikat disunat, sementara sebagian besar pria di Eropa tidak. Organisasi-organisasi medis besar di dunia memiliki berbagai pandangan dari yang menganggap "sunat pilihan pada bayi laki-laki dan anak-anak mengandung risiko yang signifikan dan tidak memberikan manfaat medis", hingga yang meyakini bahwa "prosedur ini memiliki sedikit manfaat kesehatan yang melebihi risikonya yang kecil".American Academy of Pediatrics merekomendasikan pada tahun 2012 agar sunat pria hanya dilakukan oleh "praktisi terlatih dan kompeten ... menggunakan teknik steril dan manajemen nyeri yang efektif".
Kutipan dari rujukan
Catatan kaki
Daftar pustaka
Buku dan bab buku
- Abusharaf, Rogaia Mustafa (2007). "Introduction: The Custom in Question". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Abdalla, Raqiya D. (2007). "'My Grandmother Called it the Three Feminine Sorrows': The Struggle of Women Against Female Circumcision in Somalia". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
- Ahmadu, Fuambai (2000). "Rites and Wrongs: An Insider/Outsider Reflects on Power and Excision". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
- Allen, Peter Lewis (2000). The Wages of Sin: Sex and Disease, Past and Present. Chicago: University of Chicago Press.
- Asmani, Ibrahim Lethome; Abdi, Maryam Sheikh (2008). De-linking Female Genital Mutilation/Cutting from Islam (PDF). Washington: Frontiers in Reproductive Health, USAID. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-02-21. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Bagnol, Brigitte; Mariano, Esmeralda (2011). "Politics of Naming Sexual Practices". African Sexualities: A Reader. Cape Town: Fahamu/Pambazuka. ISBN 9780857490162.
- Barker-Benfield, G. J. (1999). The Horrors of the Half-Known Life: Male Attitudes Toward Women and Sexuality in Nineteenth-Century America. New York: Routledge.
- Berlin, Adele (2011). "Circumcision". The Oxford Dictionary of the Jewish Religion. New York: Oxford University Press.
- Boddy, Janice (2007). Civilizing Women: British Crusades in Colonial Sudan. Princeton: Princeton University Press.
- Boddy, Janice (1989). Wombs and Alien Spirits: Women, Men, and the Zar Cult in Northern Sudan. Madison: University of Wisconsin Press.
- Boyle, Elizabeth Heger (2002). Female Genital Cutting: Cultural Conflict in the Global Community. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
- Cohen, Shaye J. D. (2005). Why Aren't Jewish Women Circumcised? Gender and Covenant In Judaism. Berkeley: University of California Press.
- El Guindi, Fadwa (2007). "Had This Been Your Face, Would You Leave It as Is?". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- El Dareer, Asma (1982). Woman, Why Do You Weep: Circumcision and its Consequences. London: Zed Books.
- Fiedler, Klaus (1996). Christianity and African Culture. Leiden: Brill.
- Gollaher, David (2000). Circumcision: A History of the World's Most Controversial Surgery. New York: Basic Books.
- Gruenbaum, Ellen (2001). The Female Circumcision Controversy: An Anthropological Perspective. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
- Hoberman, John Milton (2005). Testosterone Dreams: Rejuvenation, Aphrodisia, Doping. Berkeley: University of California Press.
- Hosken, Fran (1994) [1979]. The Hosken Report: Genital and Sexual Mutilation of Females. Lexington: Women's International Network.
- Hyam, Ronald (1990). Empire and Sexuality: The British Experience. Manchester: Manchester University Press.
- Jacobs, Micah; Grady, Richard; Bolnick, David A. (2012). "Current Circumcision Trends and Guidelines". Dalam Bolnick, David A.; Koyle, Martin; Yosha, Assaf. Surgical Guide to Circumcision. London: Springer. hlm. 3–8. doi:10.1007/978-1-4471-2858-8_1. ISBN 978-1-4471-2857-1.
- Karanja, James (2009). The Missionary Movement in Colonial Kenya: The Foundation of Africa Inland Church. Göttingen: Cuvillier Verlag.
- Kenyatta, Jomo (1962) [1938]. Facing Mount Kenya. New York: Vintage Books.
- Kenyon, F. G. (1893). Greek Papyri in the British Museum. London: British Museum.
- Kirby, Vicky (2005). "Out of Africa: 'Our Bodies Ourselves?'". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Korieh, Chima (2005). "'Other' Bodies: Western Feminism, Race and Representation in Female Circumcision Discourse". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Kunhiyop, Samuel Waje (2008). African Christian Ethics. Grand Rapids, MI: Zondervan.
-
Mackie, Gerry (2000). "Female Genital Cutting: The Beginning of the End" (PDF). Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 29 Oktober 2013. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - Mandara, Mairo Usman (2000). "Female genital cutting in Nigeria: View of Nigerian Doctors on the Medicalization Debate". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
- McGregor, Deborah Kuhn (1998). From Midwives to Medicine: The Birth of American Gynecology. New Brunswick: Rutgers University Press.
- Nnaemeka, Obioma (2005). "African Women, Colonial Discourses, and Imperialist Interventions: Female Circumcision as Impetus". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. hlm. 27–46. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Nussbaum, Martha (1999). Sex and Social Justice. New York and Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780195355017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Nzegwu, Nkiru (2011). "'Osunality' (or African eroticism)". African Sexualities: A Reader. Cape Town: Fahamu/Pambazuka. ISBN 9780857490162.
- Peterson, Derek R. (2012). Ethnic Patriotism and the East African Revival: A History of Dissent, c. 1935–1972. New York: Cambridge University Press.
- Rahman, Anika; Toubia, Nahid (2000). Female Genital Mutilation: A Guide to Laws and Policies Worldwide. New York: Zed Books.
- Roald, Ann-Sofie (2003). Women in Islam: The Western Experience. London: Routledge.
- Robert, Dana Lee (1996). American Women in Mission: A Social History of Their Thought and Practice. Macon: Mercer University Press.
- Rodriguez, Sarah B. (2014). Female Circumcision and Clitoridectomy in the United States: A History of a Medical Treatment. Rochester, NY: University of Rochester Press.
- El Saadawi, Nawal (2007) [1980]. The Hidden Face of Eve. London: Zed Books.
- Shorter, Edward (2008). From Paralysis to Fatigue: A History of Psychosomatic Illness in the Modern Era. New York: Simon and Schuster.
- Strayer, Robert; Murray, Jocelyn (1978). "The CMS and Female Circumcision". Dalam Strayer, Robert. The Making of Missionary Communities in East Africa. New York: State University of New York Press.
- Tamale, Sylvia (2011). "Researching and theorising sexualities in Africa". Dalam Tamale, Sylvia. African Sexualities: A Reader. Pambazuka Press/Fahamu. hlm. 11–36.
- Thomas, Lynn M. (2000). "Ngaitana (I will circumcise myself)': Lessons from Colonial Campaigns to Ban Excision in Meru, Kenya". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
- Thomas, Lynn (2003). Politics of the Womb: Women, Reproduction, and the State in Kenya. Berkeley: University of California Press.
- Thomas, Robert (1813). The Modern Practice of Physick. London: Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown.
- wa Kihurani, Nyambura; Warigia wa Johanna, Raheli; Murigo wa Meshak, Alice (2007). "Letter Opposing Female Circumcision". Dalam Lihamba, Amandina; Moyo, Fulata L.; Mulokozi, Mugaybuso M.; Shitemi, Naomi L.; Yahya-Othman, Saida. Women Writing Africa: The Eastern Region. New York: The Feminist Press at the City University of New York. hlm. 118–120. ISBN 978-1558615342.
- Walley, Christine J. (2002). ""Searching for 'Voices': Feminism, Anthropology, and the Global Over Female Genital Operations"". Dalam James, Stanlie M.; Robertson, Claire C. Genital Cutting and Transnational Sisterhood. Urbana: University of Illinois Press. hlm. 54–86.
- Wildenthal, Lora (2012). The Language of Human Rights in West Germany. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
- Zabus, Chantal (2008). "The Excised Body in African Texts and Contexts". Dalam Borch, Merete Falck. Bodies and Voices: The Force-field of Representation and Discourse in Colonial and Postcolonial Studies. New York: Rodopi.
- Zabus, Chantal (2013). "'Writing with an Accent': From Early Decolonization to Contemporary Gender Issues in the African Novel in French, English, and Arabic". Dalam Bertacco, Simon. Language and Translation in Postcolonial Literatures. New York: Routledge.
Artikel jurnal
- Abdulcadir, Jasmine; Margairaz, Christiane; Boulvain, Michel; Irion, Olivier (6 Januari 2011). "Care of women with female genital mutilation/cutting". Swiss Medical Weekly. 140: w13137. doi:10.4414/smw.2011.13137 . ISSN 1424-3997. PMID 21213149.
- Abdulcadir, Jasmine; Catania, Lucrezia; Hindin, Michelle Jane; Say, Lale; Petignat, Patrick; Abdulcadir, Omar (November 2016). "Female Genital Mutilation: A Visual Reference and Learning Tool for Health Care Professionals". Obstetrics & Gynecology. 128 (5): 958–963. doi:10.1097/AOG.0000000000001686. ISSN 1873-233X. PMID 27741194.
- Sibiani, Sharifa A.; Rouzi, Abdulrahim A. (September 2008). "Sexual function in women with female genital mutilation". Fertility and Sterility. 93 (3): 722–724. doi:10.1016/j.fertnstert.2008.10.035. ISSN 1556-5653. PMID 19028385. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-28. Diakses tanggal 2020-05-17.
- American Academy of Pediatrics, Committee on Bioethics (Juli 1998). "Female genital mutilation". Pediatrics. 102 (1 Pt 1): 153–156. doi:10.1542/peds.102.1.153 . ISSN 0031-4005. PMID 9651425.
- American Academy of Pediatrics Board of Directors (Juli 2010). "Ritual genital cutting of female minors [withdrawn]". Pediatrics. 126 (1): 191. doi:10.1542/peds.2010-1568 . ISSN 1098-4275. PMID 20530070.
- Askew, Ian; Chaiban, Ted; Kalasa, Benoit; Sen, Purna (1 September 2016). "A repeat call for complete abandonment of FGM". Journal of Medical Ethics (dalam bahasa Inggris). 42 (9): 619–620. doi:10.1136/medethics-2016-103553. ISSN 0306-6800. PMC 5013096 . PMID 27059789. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-06. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Banks, Emily; Meirik, Olav; Farley, Tim; Akande, Oluwole; Bathija, Heli; Ali, Mohamed; WHO study group on female genital mutilation and obstetric outcome (3 Juni 2006). "Female genital mutilation and obstetric outcome: WHO collaborative prospective study in six African countries". Lancet. 367 (9525): 1835–1841. doi:10.1016/S0140-6736(06)68805-3. ISSN 1474-547X. PMID 16753486.
- Berer, Marge (30 Juni 2007). "Cosmetic genitoplasty: It's female genital mutilation and should be prosecuted". BMJ. 334 (7608): 1335.2–1335. doi:10.1136/bmj.39252.646042.3A. ISSN 1756-1833. PMC 1906631 . PMID 17599983. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-13. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Berg, Rigmor C.; Underland, Vigdis; Odgaard-Jensen, Jan; Fretheim, Atle; Vist, Gunn E. (21 November 2014). "Effects of female genital cutting on physical health outcomes: a systematic review and meta-analysis". BMJ Open. 4 (11): e006316. doi:10.1136/bmjopen-2014-006316. ISSN 2044-6055. PMC 4244458 . PMID 25416059.
- Berg, Rigmor C.; Denison, Eva (Oktober 2013). "A tradition in transition: factors perpetuating and hindering the continuance of female genital mutilation/cutting (FGM/C) summarized in a systematic review". Health Care for Women International. 34 (10): 837–859. doi:10.1080/07399332.2012.721417. ISSN 1096-4665. PMC 3783896 . PMID 23489149.
- Berg, Rigmor C.; Underland, Vigdis (27 Maret 2014). Immediate health consequences of female genital mutilation/cutting (FGM/C) (PDF). Rapport Fra Kunnskapssenteret. Oslo: Norwegian Knowledge Centre for the Health Services (Kunnskapssenteret). hlm. 837–859. ISBN 978-82-8121-856-7. ISSN 1890-1298. PMID 29320014. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-28. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Black, J. A.; Debelle, G. D. (17 Juni 1995). "Female genital mutilation in Britain". BMJ. 310 (6994): 1590–1592. doi:10.1136/bmj.310.6994.1590. ISSN 0959-8138. PMC 2549951 . PMID 7787654. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-13. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Black, John (Juli 1997). "Female genital mutilation: a contemporary issue, and a Victorian obsession". Journal of the Royal Society of Medicine. 90 (7): 402–405. doi:10.1177/014107689709000712. ISSN 0141-0768. PMC 1296388 . PMID 9290425.
- J. F. C. (8 Februari 1873). "Isaac Baker Brown, F.R.C.S." Medical Times and Gazette. 1 (1180). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Conroy, Ronán M (15 Juli 2006). "Female genital mutilation: whose problem, whose solution?". BMJ. 333 (7559): 106–107. doi:10.1136/bmj.333.7559.106. ISSN 0959-8138. PMC 1502236 . PMID 16840444.
- Cutner, Lawrence P. (Juli 1985). "Female genital mutilation". Obstetrical & Gynecological Survey. 40 (7): 437–443. doi:10.1097/00006254-198507000-00004. ISSN 0029-7828. PMID 4022475.
- Dave, Amish J.; Sethi, Aisha; Morrone, Aldo (Januari 2011). "Female genital mutilation: what every American dermatologist needs to know". Dermatologic Clinics. 29 (1): 103–109. doi:10.1016/j.det.2010.09.002. ISSN 1558-0520. PMID 21095534.
- Elchalal, Uriel; Ben-Ami, B.; Gillis, R.; Brzezinski, A. (Oktober 1997). "Ritualistic female genital mutilation: current status and future outlook". Obstetrical & Gynecological Survey. 52 (10): 643–651. doi:10.1097/00006254-199710000-00022. ISSN 0029-7828. PMID 9326757.
-
Essén, Birgitta; Johnsdotter, Sara (Juli 2004). "Female genital mutilation in the West: traditional circumcision versus genital cosmetic surgery" (PDF). Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica. 83 (7): 611–613. doi:10.1111/j.0001-6349.2004.00590.x. ISSN 0001-6349. PMID 15225183. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 14 April 2013. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - El Dareer, A. (Juni 1983). "Attitudes of Sudanese people to the practice of female circumcision". International Journal of Epidemiology. 12 (2): 138–144. doi:10.1093/ije/12.2.138. ISSN 0300-5771. PMID 6874206.
- Elduma, Adel Hussein (15 Februari 2018). "Female Genital Mutilation in Sudan". Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 6 (2): 430–434. doi:10.3889/oamjms.2018.099. PMC 5839462 . PMID 29531618.
- Elmusharaf, Susan; Elhadi, Nagla; Almroth, Lars (15 Juli 2006). "Reliability of self reported form of female genital mutilation and WHO classification: cross sectional study". BMJ (Clinical Research Ed.). 333 (7559): 124. doi:10.1136/bmj.38873.649074.55. ISSN 1756-1833. PMC 1502195 . PMID 16803943.
- Gallard, Colette (17 Juni 1995). "Female genital mutilation in France". BMJ (Clinical Research Ed.). 310 (6994): 1592–1593. doi:10.1136/bmj.310.6994.1592. ISSN 0959-8138. PMC 2549952 . PMID 7787655.
- Gruenbaum, Ellen (September–Oktober 2005). "Socio-Cultural Dynamics of Female Genital Cutting: Research Findings, Gaps, and Directions". Culture, Health & Sexuality. 7 (5): 429–441. doi:10.1080/13691050500262953. JSTOR 4005473. PMID 16864214.
- Hayes, Rose Oldfield (17 Juni 1975). "Female Genital Mutilation, Fertility Control, Women's Roles, and the Patrilineage in Modern Sudan: A Functional Analysis". American Ethnologist. 2 (4): 617–633. doi:10.1525/ae.1975.2.4.02a00030. JSTOR 643328.
- Horowitz, Carol R.; Jackson, J. Carey; Teklemariam, Mamae (19 Januari 1995). "Female Circumcision". New England Journal of Medicine. 332 (3): 188–190. doi:10.1056/nejm199501193320313. ISSN 0028-4793. PMID 7695718.
- Iavazzo, Christos; Sardi, Thalia A.; Gkegkes, Ioannis D. (Juni 2013). "Female genital mutilation and infections: a systematic review of the clinical evidence". Archives of Gynecology and Obstetrics. 287 (6): 1137–1149. doi:10.1007/s00404-012-2708-5. ISSN 1432-0711. PMID 23315098.
- Ismail, Edna Adan (2016). "Female genital mutilation survey in Somaliland" (PDF). Edna Adan University Hospital. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-09-11. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Jackson, Elizabeth F.; Akweongo, Patricia; Sakeah, Evelyn; Hodgson, Abraham; Asuru, Rofina; Phillips, James F. (September 2003). "Inconsistent reporting of female genital cutting status in northern Ghana: explanatory factors and analytical consequences". Studies in Family Planning. 34 (3): 200–210. CiteSeerX 10.1.1.233.6248 . doi:10.1111/j.1728-4465.2003.00200.x. ISSN 0039-3665. PMID 14558322.
-
Johnsdotter, Sara; Essén, Birgitta (Mei 2010). "Genitals and ethnicity: the politics of genital modifications" (PDF). Reproductive Health Matters. 18 (35): 29–37. doi:10.1016/S0968-8080(10)35495-4. ISSN 1460-9576. PMID 20541081. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 21 September 2013. Parameter
|url-status=
yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) - Jones, Wanda K.; Smith, J.; Kieke, B.; Wilcox, L. (September 1997). "Female genital mutilation/Female circumcision. Who is at risk in the U.S.?". Public Health Reports (Washington, D.C.: 1974). 112 (5): 368–377. ISSN 0033-3549. PMC 1381943 . PMID 9323387.
- Kandala, Ngianga-Bakwin; Ezejimofor, Martinsixtus C.; Uthman, Olalekan A.; Komba, Paul (2018). "Secular trends in the prevalence of female genital mutilation/cutting among girls: a systematic analysis" (PDF). BMJ Global Health. 3 (5): e000549. doi:10.1136/bmjgh-2017-000549. PMC 6231106 . PMID 30483404. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-03-10. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Kelly, Elizabeth; Hillard, Paula J. Adams (Oktober 2005). "Female genital mutilation". Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 17 (5): 490–494. doi:10.1097/01.gco.0000183528.18728.57. ISSN 1040-872X. PMID 16141763.
- Khazan, Olga (8 April 2015). "Why Some Women Choose to Get Circumcised". The Atlantic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-28. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Lightfoot-Klein, Hanny (1989). "The Sexual Experience and Marital Adjustment of Genitally Circumcised and Infibulated Females in The Sudan". The Journal of Sex Research. 26 (3): (375–392), 380. doi:10.1080/00224498909551521. JSTOR 3812643.
- Klouman, Elise; Manongi, Rachel; Klepp, Knut-Inge (Januari 2005). "Self-reported and observed female genital cutting in rural Tanzania: associated demographic factors, HIV and sexually transmitted infections". Tropical Medicine & International Health. 10 (1): 105–115. doi:10.1111/j.1365-3156.2004.01350.x. ISSN 1360-2276. PMID 15655020.
- Knight, Mary (Juni 2001). "Curing cut or ritual mutilation? Some remarks on the practice of female and male circumcision in Graeco-Roman Egypt". Isis. 92 (2): 317–338. doi:10.1086/385184. ISSN 0021-1753. JSTOR 3080631. PMID 11590895.
- Kouba, Leonard J.; Muasher, Judith (Maret 1985). "Female Circumcision in Africa: An Overview". African Studies Review. 28 (1): 95–1100. doi:10.2307/524569. JSTOR 524569.
- Mandara, Mairo Usman (Maret 2004). "Female genital mutilation in Nigeria". International Journal of Gynaecology and Obstetrics. 84 (3): 291–298. doi:10.1016/j.ijgo.2003.06.001. PMID 15001386.
- Mackie, Gerry (Desember 1996). "Ending Footbinding and Infibulation: A Convention Account" (PDF). American Sociological Review. 61 (6): 999–1017. doi:10.2307/2096305. JSTOR 2096305. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-07-20. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Mackie, Gerry (Juni 2003). "Female Genital Cutting: A Harmless Practice?" (PDF). Medical Anthropology Quarterly. 17 (2): 135–158. doi:10.1525/maq.2003.17.2.135. JSTOR 3655332. PMID 12846114. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-08. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Mufuka, Kenneth (2003). "Scottish Missionaries and the Circumcision Controversy in Kenya, 1900–1960". International Review of Scottish Studies. 28: 47–87. Archived from the original on 2011-11-23. Diakses tanggal 2020-05-21. Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
- Murray, Jocelyn (1976). "The Church Missionary Society and the 'Female Circumcision' Issue in Kenya 1929–1932". Journal of Religion in Africa. 8 (2): 92–104. doi:10.1163/157006676X00075. JSTOR 1594780.
- Nour, Nawal M. (2008). "Female Genital Cutting: A Persisting Practice". Reviews in Obstetrics and Gynecology. 1 (3): 135–139. PMC 2582648 . PMID 19015765.
- Obermeyer, Carla (1999). "Female Genital Surgeries: The Known, the Unknown and the Unknowable". Medical Anthropology Quarterly. 31: 79–106. doi:10.1525/maq.1999.13.1.79.
- Okeke, T. C.; Anyaehie, Usb; Ezenyeaku, C. C. K. (Januari 2012). "An overview of female genital mutilation in Nigeria". Annals of Medical and Health Sciences Research. 2 (1): 70–73. doi:10.4103/2141-9248.96942. ISSN 2141-9248. PMC 3507121 . PMID 23209995.
- O'Rourke, Paul F. (1 Februari 2007). "The 'm't-Woman". Zeitschrift für Ägyptische Sprache und Altertumskunde (dalam bahasa Inggris). 134 (2). doi:10.1524/zaes.2007.134.2.166. ISSN 2196-713X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Rasheed, Salah M.; Abd-Ellah, Ahmed H.; Yousef, Fouad M. (Juli 2011). "Female genital mutilation in Upper Egypt in the new millennium". International Journal of Gynaecology and Obstetrics. 114 (1): 47–50. doi:10.1016/j.ijgo.2011.02.003. ISSN 1879-3479. PMID 21513937.
- Rashid, Mumtaz; Rashid, Mohammed H (April 2007). "Obstetric management of women with female genital mutilation". The Obstetrician & Gynaecologist (dalam bahasa Inggris). 9 (2): 95–101. doi:10.1576/toag.9.2.095.27310.
- Reisel, Dan; Creighton, Sarah M. (Januari 2015). "Long term health consequences of Female Genital Mutilation (FGM)". Maturitas. 80 (1): 48–51. doi:10.1016/j.maturitas.2014.10.009. ISSN 1873-4111. PMID 25466303.
- Rodriguez, Sarah (Juli 2008). "Rethinking the history of female circumcision and clitoridectomy: American medicine and female sexuality in the late nineteenth century". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. 63 (3): 323–347. doi:10.1093/jhmas/jrm044. ISSN 1468-4373. PMID 18065832.
- Rudloff, Patricia Dysart (1995). "In Re: Oluloro: Risk of female genital mutilation as 'extreme hardship' in immigration proceedings". Saint Mary's Law Journal. 26: 877–903. Archived from the original on 2001-02-20. Diakses tanggal 2020-05-22. Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
- Rushwan, Hamid (September 2013). "Female genital mutilation: A tragedy for women's reproductive health". African Journal of Urology. 19 (3): 130–133. doi:10.1016/j.afju.2013.03.002 .
- Sheehan, E. (Agustus 1981). "Victorian clitoridectomy: Isaac Baker Brown and his harmless operative procedure". Medical Anthropology Newsletter. 12 (4): 9–15. doi:10.1525/maq.1981.12.4.02a00120. ISSN 0543-2499. JSTOR 647794. PMID 12263443.
- Shell-Duncan, Bettina (Juni 2008). "From Health to Human Rights: Female Genital Cutting and the Politics of Intervention". American Anthropologist. 110 (2): 225–236. doi:10.1111/j.1548-1433.2008.00028.x. JSTOR 27563985.
- Sholeh, M. Asrorun Ni'am (2012). "Fatwa MUI tentang Khitan Perempuan" (PDF). Ahkam. XII (2): 35–46. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-26. Diakses tanggal 2020-06-24.
- Silverman, Eric K. (2004). "Anthropology and Circumcision". Annual Review of Anthropology. 33: 419–445. doi:10.1146/annurev.anthro.33.070203.143706. JSTOR 25064860.
- Thomas, Lynn M. (November 1996). "'Ngaitana (I will circumcise myself)': The Gender and Generational Politics of the 1956 Ban on Clitoridectomy in Meru, Kenya". Gender and History. 8 (3): 338–363. doi:10.1111/j.1468-0424.1996.tb00062.x. PMID 12322506.
- Toubia, Nadia F.; Sharief, E. H. (September 2003). "Female genital mutilation: have we made progress?". International Journal of Gynaecology and Obstetrics. 82 (3): 251–261. doi:10.1016/S0020-7292(03)00229-7. ISSN 0020-7292. PMID 14499972.
- Toubia, Nadia (15 September 1994). "Female Circumcision as a Public Health Issue". The New England Journal of Medicine. 331 (11): 712–716. doi:10.1056/NEJM199409153311106. ISSN 0028-4793. PMID 8058079.
- Wakabi, Wairagala (31 Maret 2007). "Africa battles to make female genital mutilation history". Lancet. 369 (9567): 1069–1070. doi:10.1016/S0140-6736(07)60508-X. PMID 17405200. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-14. Diakses tanggal 2020-05-17.
- Yasin, Berivan A.; Al-Tawil, Namir G.; Shabila, Nazar P.; Al-Hadithi, Tariq S. (8 September 2013). "Female genital mutilation among Iraqi Kurdish women: A cross-sectional study from Erbil city". BMC Public Health. 13: 809. doi:10.1186/1471-2458-13-809. ISSN 1471-2458. PMC 3844478 . PMID 24010850.
- Yoder, P. Stanley; Wang, Shanxiao; Johansen, Elise (Juni 2013). "Estimates of female genital mutilation/cutting in 27 African countries and Yemen". Studies in Family Planning. 44 (2): 189–204. doi:10.1111/j.1728-4465.2013.00352.x. ISSN 0039-3665. PMID 23720002.
- Yoder, P. Stanley; Khan, Shane (Maret 2008). "Numbers of women circumcised in Africa: The Production of a Total" (PDF). DHS Working Papers. USAID (39). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-11-22. Diakses tanggal 2020-05-17.
Laporan PBB
- Cappa, Claudia, et al. Female Genital Mutilation/Cutting: A Statistical Overview and Exploration of the Dynamics of Change, New York: United Nations Children's Fund, Juli 2013.
- Classification of female genital mutilation, Geneva: World Health Organization, 2014.
- "Concluding observations on the seventh periodic report of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland", United Nations Committee on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), 26 Juli 2013 (WebCite).
- Diop, Nafissatou J.; Moreau, Amadou; Benga, Hélène. "Evaluation of the Long-term Impact of the TOSTAN Program on the Abandonment of FGM/C and Early Marriage: Results from a qualitative study in Senega", UNICEF, Januari 2008.
- "Djibouti", Statistical profile on female genital mutilation/cutting, UNICEF, Desember 2013.
- Eliminating Female genital mutilation: An Interagency Statement, Geneva: World Health Organization, 2008.
- "Eritrea", Statistical profile on female genital mutilation/cutting, UNICEF, Juli 2014.
- "Female genital mutilation", Geneva: World Health Organization, 31 Januari 2018.
- Female Genital Mutilation/Cutting: A Global Concern, New York: United Nations Children's Fund, Februari 2016.
- Female Genital Mutilation: A Teachers' Guide, Geneva: World Health Organization, 2005.
- Female Genital Mutilation/Cutting: What Might the Future Hold?, New York: UNICEF, 22 Juli 2014.
- "Fresh progress toward the elimination of female genital mutilation and cutting in Egypt", UNICEF press release, 2 Juli 2007.
- Global strategy to stop health-care providers from performing female genital mutilation, UNAIDS, UNDP, UNFPA, UNHCR, UNICEF, UNIFEM, WHO, FIGO, ICN, IOM, MWIA, WCPT, WMA, Geneva: World Health Organization, 2010.
- "Indonesia", Statistical profile on female genital mutilation/cutting, UNICEF, Februari 2016.
- "67/146. Intensifying global efforts for the elimination of female genital mutilations", Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, diadopsi pada 20 Desember 2012.
- Izett, Susan; Toubia, Nahid. Female Genital Mutilation: An Overview, Geneva: World Health Organization, 1998.
- Joint Evaluation. UNFPA-UNICEF Joint Program on Female Genital Mutilation/Cutting: Accelerating Change, 2008–2012, Volume 1, Volume 2, "Executive Summary", New York: UNFPA, UNICEF, September 2013.
- Joint Program on Female Genital Mutilation/Cutting: Accelerating Change, Annual report 2012, New York: UNFPA–UNICEF, 2012.
- Mackie, Gerry; LeJeune, John. "Social Dynamics of Abandonment of Harmful Practices: A New Look at the Theory", Innocenti Working Paper No. XXX, Florence: UNICEF Innocenti Research Centre, 2008.
- Miller, Michael; Moneti, Francesca. Changing a harmful social convention: Female genital cutting/mutilation, Florence: UNICEF Innocenti Research Centre, 2005.
- Moneti, Francesca; Parker, David. The Dynamics of Social Change, Florence: UNICEF Innocenti Research Centre, Oktober 2010.
- "Nigeria", Statistical profile on female genital mutilation/cutting, UNICEF, Juli 2014.
- "Somalia", Statistical profile on female genital mutilation/cutting, UNICEF, Desember 2013.
- WHO Guidelines on the Management of Health Complications from Female Genital Mutilation, Geneva: World Health Organization, 2016. PMID 27359024
Bacaan lanjutan
- Media terkait Pemotongan kelamin perempuan di Wikimedia Commons
- Kutipan tentang Pemotongan kelamin perempuan di Wikiquote
- "Circumcision, female", The Kinsey Institute (bibliography 1960s–1980s).
- Arsip tentang FGM, The Guardian.
- Haworth, Abigail (18 November 2012). "The day I saw 248 girls suffering genital mutilation", The Observer.
- Lightfoot-Klein, Hanny (1989). Prisoners of Ritual: An Odyssey Into Female Genital Circumcision in Africa. New York: Routledge.
- Westley, David M. (1999). "Female circumcision and infibulation in Africa", Electronic Journal of Africana Bibliography, 4 (bibliography up to 1997).
Cerita pribadi
- El Saadawi, Nawal (1975). Woman at Point Zero. London: Zed Books.
- Dirie, Waris dan Miller, Cathleen (1998). Desert Flower. New York: William Morrow.
- Kassindja, Fauziya dan Miller-Muro, Layli (1998). Do They Hear You When You Cry. New York: Delacorte Press.
- Ali, Ayaan Hirsi (2007). Infidel: My Life. New York: Simon & Schuster.
Isu kesehatan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Penulis/ kelompok |
|
||||||
Media |
|