Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Sitrinin
Nama | |
---|---|
Nama IUPAC (preferensi)
(3R,4S)-8-Hydroxy-3,4,5-trimethyl-6-oxo-4,6-dihydro-3H-2-benzopyran-7-carboxylic acid | |
Penanda | |
|
|
Model 3D (JSmol)
|
|
3DMet | {{{3DMet}}} |
ChEMBL | |
ChemSpider |
|
Nomor EC | |
KEGG |
|
PubChem CID
|
|
Nomor RTECS | {{{value}}} |
UNII | |
CompTox Dashboard (EPA)
|
|
| |
| |
Sifat | |
C13H14O5 | |
Massa molar | 250.25 |
Penampilan | Kristal lemon-kuning |
Titik lebur | 175 °C (347 °F; 448 K) (dekomposisi (kondisi kering), ketika terdapat air pada 100 derajat Celsius)) |
Tak larut | |
Bahaya | |
Lembar data keselamatan | MSDS |
Piktogram GHS | |
H301, H311, H331, H351 | |
P261, P280, P301+310, P311 | |
Kecuali dinyatakan lain, data di atas berlaku pada temperatur dan tekanan standar (25 °C [77 °F], 100 kPa). | |
N verifikasi (apa ini YN ?) | |
Referensi | |
Definisi
Sitrinin (bahasa Inggris: Citrinin) merupakan salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Penicillium citrinum. Spesies kapang tersebut dapat mengkontaminasi berbagai macam bahan makanan terutama biji-bijian yang telah mengalami kerusakan dengan ciri-ciri seperti biji berlubang, keriput, mengelupas sehingga mudah terkontaminasi oleh spora-spora kapang, bila dibandingkan dengan biji-bijian utuh. Sitrinin dapat terkandung dalam bahan makanan berupa beras, jagung, gandum, dan tomat busuk.
Karakteristik
Sitrinin merupakan suatu senyawa benzopiran. Senyawa ini berupa kristal padat berwarna kuning, tidak berbau. Titik lebur Sitrinin berkisar 170-175 °C dengan berat molekul 250,2 g/mol, mempunyai sifat berpendar apabila kena sinar. Sitrinin tidak larut dalam air, tetapi larut dalam ethanol, etil acetat, benzena, dan chloroform. Sitrinin mempunyai rumus molekul C13H14O5. Sitrinin dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang 250 – 331 nm. Sitrinin bersifat asam.
Sitrinin terdekomposisi pada 175 °C dengan pemanasan kering, tetapi suhu dekomposisi menurun menjadi 140 °C dengan adanya sedikit air. Produk dekomposisi yang diperoleh dengan memanaskan sitrinin dengan air pada suhu 140 °C hingga 150 °C sama beracunnya atau lebih beracun daripada Sitrinin. Racun baru ini adalah Sitrinin H1 dan Sitrinin H2. Konsentrasi sitrinin pada ekstrak Monascus menurun hingga 50% setelah direbus dalam air selama 20 menit, yang membuktikan bahwa sitrinin tidak stabil secara termal dalam larutan air.
Struktur
Sitrinin pertama kali diisolasi dari kultur Penicillium citrinum (Hetherington dan Raistrick, 1931) yang belakangan ditemui pada kultur lebih dari selusin jenis Penicillium, beberapa jenis Aspergillus dan juga pada kultur beberapa jenis Monascus. Baru-baru ini Sitrinin dilaporkan juga diproduksi oleh jamur endofit Penicillium janthinellum yang diisolasi dari buah Melia azedarach. Sitrinin juga dapat diproduksi dari daun – daunan (Crotalaria crispata) di Australia. Di samping itu, Marinho et al., (2005) juga melaporkan bahwa Sitrinin memperlihatkan aktivitas biologi menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus subtilis, namun tidak aktif sama sekali terhadap Eschericia coli. Sedangkan pertumbuhan Leishmania Mexicana, Sitrinin dihambat secara total dalam waktu 48 jam pada konsentrasi 40 µg/ml. Di lain pihak, Sitrinin dikenal sebagai salah satu mikotoksin yang mengakibatkan efek nefrotoksik pada manusia dan hewan. Baru-baru ini juga dilaporkan bahwa sitrinin dapat mengakibatkan efek penekanan sistem imun yang berakibat peningkatan kapasitas infeksi sel oleh parasit Toxoplasma gondii.
Sejarah
Sitrinin adalah salah satu dari banyak mikotoksin yang ditemukan oleh H. Raistrick dan AC Hetherington pada tahun 1930-an. Pada tahun 1941 H. Raistrick dan G. Smith mengidentifikasi sitrinin memiliki aktivitas antibakteri yang luas. Setelah penemuan ini, minat terhadap sitrinin meningkat. Namun, pada tahun 1946 A.M Ambrose dan F. Deeds menunjukkan bahwa Sitrinin bersifat toksik pada mamalia. Akibatnya, minat terhadap Sitrinin menurun. Pada tahun 1948 struktur kimianya ditemukan oleh W.B Whalley dan rekan kerjanya. Sitrinin adalah senyawa alami dan pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum, tetapi juga diproduksi oleh spesies Penicillium lainnya , seperti spesies Monascus dan spesies Aspergillus, yang keduanya merupakan jamur. Selama tahun 1950-an W.B Whalley, A.J Birch dan lainnya mengidentifikasi Sitrinin sebagai poliketida dan menyelidiki biosintesisnya menggunakan radioisotop. Selama 1980-an dan 1990-an J. Staunton, U. Sankawa dan lain-lain juga menyelidiki biosintesisnya menggunakan isotop stabil dan Resonansi magnet inti (NMR). Selama pertengahan tahun 2000-an, cluster gen untuk Sitrinin ditemukan oleh T. Nihira dan rekan kerjanya.
Pada tahun 1993, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker Organisasi Kesehatan Dunia mulai mengevaluasi potensi karsinogenik mikotoksin. Bahaya kesehatan mikotoksin bagi manusia atau hewan telah ditinjau secara ekstensif dalam beberapa tahun terakhir. Untuk memastikan produktivitas dan keberlanjutan pertanian, kesehatan hewan dan masyarakat, kesejahteraan hewan dan lingkungan, tingkat maksimum zat yang tidak diinginkan dalam pakan ternak ditetapkan dalam Petunjuk Uni Eropa Parlemen Eropa dan Dewan 7 Mei 2002. Sementara maksimum kadar untuk berbagai mikotoksin ditetapkan untuk sejumlah produk makanan dan pakan, kejadian Sitrinin belum diatur di bawah ini atau peraturan lain di Uni Eropa. Belum ada tingkat maksimum yang dilaporkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian untuk Sitrinin dalam makanan dan pakan.
Toksisitas
Sitrinin dikenal sebagai mikotoksin yang bersifat nefrotoksik. Sitrinin bersifat nefrotoksik terhadap mencit, tikus, kelinci dan babi. Kerusakan ginjal akibat paparan Sitrinin ditandai dengan gejala-gejala seperti pembengkakan ginjal, degenerasi pada tubulus proksimal, nucleus mengalami piknosis, dan penebalan pada dasar dari membran dasar. Mikotoksin yang terpapar ke dalam tubuh bersama sama makanan dan tersebar melalui sistem peredaran darah akan berpengaruh pada organ-organ yang dilalui. Berdasarkan hal tersebut, maka ada kemungkinan bahwa Sitrinin selain bersifat nefrotoksik juga bersifat hepatotoksik.
Menurut Philips dan Elayes (1977), target organ dari Sitrinin ialah ginjal yang ditunjukkan dengan perubahan-perubahan patologik pada tubulus-tubulus ginjal pada kebanyakan hewan percobaan termasuk mencit, tikus, kelinci, dan babi. Mikotoksin yang bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan struktur hepatosit. Kerusakan struktur hepatosit dapat terjadi pada hepatosit-hepatosit yang terdapat pada ketiga zona lobulus hepar, yaitu: zone perifer, zone midzonal dan zone centrilobular.
Sitrinin memiliki sifat antibiotik terhadap bakteri gram positif, tetapi belum pernah digunakan sebagai obat karena nefrotoksisitasnya yang tinggi. Ginjal adalah organ target utama toksisitas sitrinin, tetapi organ target lain seperti hati dan sumsum tulang juga telah dilaporkan. Secara historis sitrinin adalah salah satu mikotoksin terisolasi pertama, akan tetapi data tentang mekanisme toksisitasnya masih kontroversial dan sebagian besar diperoleh secara in vitro. Seperti mikotoksin lainnya, Sitrinin dapat berimplikasi pada nefropati babi. Ini sering ditemukan dalam makanan dan pakan yang dikombinasikan dengan Ochratoxin A (OTA), dan kedua mikotoksin nefrotoksik ini diduga terlibat dalam etiologi penyakit ginjal manusia yang disebut nefropati endemik Balkan. Di daerah endemik di Bulgaria, Sitrinin lebih umum dan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada jagung dan kacang-kacangan yang ditujukan untuk konsumsi manusia daripada di daerah non-endemik. Sitrinin juga ditemukan meningkatkan toksisitas OTA baik secara aditif atau sinergis.
Genotoksisitas
Genotoksisitas sitrinin belum ditentukan secara pasti karena berbagai sistem pengujian memberikan hasil positif dan negatif. Peningkatan kerusakan DNA dideteksi menggunakan elektroforesis gel sel tunggal (uji komet) pada sel Vero yang terpapar sitrinin selama 24 jam. Namun, metode yang sama memberikan hasil negatif pada sel hati yang diturunkan dari manusia (HepG2) dan sel ginjal embrionik manusia (HEK293) tidak peduli apakah Fpg ada atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif yang diinduksi Sitrinin tidak mempengaruhi DNA. Berbeda dengan hasil negatif, berbagai kultur sel yang terpapar CTN menunjukkan peningkatan frekuensi mikronukleus (MN) yang signifikan. Paparan 24 jam sel PK15 terhadap 30 µmol L−1 sitrinin menghasilkan peningkatan yang signifikan pada frekuensi MN (9,5%) dibandingkan kontrol (2,75%). Peningkatan ini juga terlihat pada sel HEPG2, limfosit manusia, dan sel hamster Cina V79, tetapi konsentrasi sitrinin yang menunjukkan genotoksisitas berbeda antar kultur sel.
Mutagenesitas
Pengujian mutagenisitas sitrinin tidak meyakinkan. Sitrinin tidak bersifat mutagenik saat diuji dengan atau tanpa aktivasi campuran S9 (enzim homogenat yang diturunkan dari HepG2) pada strain Salmonella typhymurium TA-98 dan TA-100. Dalam studi lain, tiga strain tambahan (TA-1535, TA-1538 dan TA-97) dari S. typhymurium digunakan untuk menguji mutagenisitas sitrinin, tetapi tidak ada efek mutagenik yang diamati. Namun, ketika kultur hepatosit primer ditambahkan, strain TA98 menunjukkan respon mutagenik tergantung dosis yang signifikan, dan strain TA-100 sedikit respon positif. Hasil ini menunjukkan bahwa sitrinin membutuhkan biotransformasi seluler yang kompleks untuk menjadi mutagenik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan aktivitas Sitrinin klastogenik in vitro dan in vivo, termasuk berbagai penyimpangan kromosom kecuali untuk Sister Chromatid Exchange (SCE). Dalam studi sel ovarium hamster Cina dan HEK293, Sitrinin tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan baik dalam frekuensi SCE atau celah dan kerusakan DNA.
Thust and Kneist mendirikan SCE yang diinduksi Sitrinin di sel V79-E hamster Cina dengan adanya S9-mix. Mereka juga mengamati potensi aneuploidik sitrinin. senyawa ini ditemukan bersifat aneugenik karena menyebabkan penangkapan mitosis yang bergantung pada konsentrasi, terlepas dari waktu inkubasi. Efek ini dapat dibalik setelah penghilangan Sitrinin. Jeswal telah menemukan bahwa Sitrinin menginduksi kelainan kromosom dan kerusakan sel sumsum tulang pada tikus muda yang sedang disapih. Penyimpangan kromosom yang diinduksi Sitrinin paling sering ditemukan dalam penelitian lain oleh Bouslimi et al. dalam sel sumsum tulang tikus dewasa termasuk istirahat, fusi sentris, cincin, dan celah.
Pengaruh Terhadap Aktivitas Enzim Respirasi Seluler
Respirasi seluler terdiri atas 3 tahap yaitu glikolisis, siklus asam sitrat, dan sistem transpor elektron (rantai respirasi). Pada tahap ke-I terjadi produksi asetil Co-A melalui oksidasi karbohidrat, protein dan lemak. Pada tahap ke-II terjadi oksidasi asetil Co-A melalui siklus asam sitrat. Tahap ke-III berlangsung sistem transfer electron dan fosfolirasi oksidatif. Pada tahap ini elektron-elektron yang dibawa oleh NADH diterima oleh pembawa-pembawa selektron secara bergantian dan akhirnya electron diterima oleh O2.
Paparan sitrinin dapat menghambat aktivitas enzim malat dehidrogenase, yang merupakan biokatalisator dalam proses pembentukan asam oksaloasetat dari asam malat. Selain itu juga dapat menghambat aktivitas enzim 2-oxoglutarate, yang merupakan biokatalisator dalam pembentukan suksinil Co-A. Peristiwa tersebut berlangsung dalam siklus asam sitrat. Hal ini dapat menghambat pembentukan ATP. Di samping itu sitrinin juga dapat menghambat aktivitas enzim ATPase sehingga menurunkan jumlah ATP. Sitrininjuga menghambat aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam rantai respirasi yaitu NADH oksidase, dan NADH-chlochrom C oksidase. Hambatan-hambatan aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam respirasi seluler tersebut mengakibatkan penurunan ATP yang dihasilkan dalam mitokondria. Selain itu terjadi pula hambatan suplai elektron dalam rantai respirasi. Hal ini mengakibatkan penurunan transmembran potensial.