Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Terapi sel punca
Terapi sel punca adalah penggunaan sel induk untuk mengobati atau mencegah penyakit atau kondisi tertentu. Terapi sel induk disebut pula terapi sel induk, transplantasi sel, atau sitoterapi. Melalui terapi ini, dapat dibentuk jaringan baru untuk menggantikan sel-sel yang rusak yang menyebabkan kerusakan organ. Terapi sel induk mulai dilakukan sejak abad kesembilan belas ketika ilmuwan bereksperimen dengan menyuntikkan bahan hewani untuk mencegah dan mengobati penyakit. Meskipun upaya tersebut tidak memberikan hasil positif, penelitian lebih lanjut pada pertengahan abad ke-20 menemukan bahwa sel induk dapat digunakan untuk reaksi penolakan terhadap transplantasi organ. Hal ini mengarah pada keberhasilan transplantasi sumsum tulang yang kini telah lazim dilakukan. Sel induk dan transplantasi sel induk sendiri semakin diminati untuk diteliti dalam beberapa dekade terakhir, khususnya untuk patologi degeneratif dan imunogenik.
Berdasarkan sumbernya, terapi sel induk terbagi menjadi tiga, yaitu dari transplantasi sel induk dari sumsum tulang belakang (bone marrow transplantation), transplantasi sel induk darah tali pusat, dan transplantasi selinduk darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation).
Latar Belakang
Asal-usul terapi sel dapat ditelusuri ke abad kesembilan belas ketika Charles-Édouard Brown-Séquard (1817-1894) menyuntikkan ekstrak testis hewan untuk eksperimen penghentian efek penuaan. Pada 1931, Paul Niehans (1882–1971), seorang dokter Swiss yang mungkin adalah bapak terapi sel induk, menyuntikkan bahan embrionik anak sapi kepada seorang pasien (meskipun tidak ada data yang tersedia tentang kemanjuran praktik injeksi selnya).
Pada 1953, ditemukan bahwa penolakan transplantasi organ pada hewan laboratorium dapat dicegah atau dikurangi dengan melakukan prainokulasi menggunakan sel dari hewan donor. Temuan awal ini mengarah keberhasilan transplantasi sumsum tulang manusia pertama pada 1968. Melalui penelitian lebih lanjut berikutnya, enkapsulasi sel diupayakan menjadi sarana untuk melindungi sel terapeutik dari respon imun inang.
Transplantasi sumsum tulang adalah terapi sel induk yang paling umum dan mapan. Transplantasi sumsum tulang pertama yang sukses tercatat pada tahun 1956, dilakukan oleh dr. Donnall Thomas yang menyembuhkan seorang pasien leukimia melalui transplantasi sumsum tulang menggunakan sumsum tulang saudara kembar pasien tersebut. Secara umum, untuk pasien dengan sumsum tulang yang rusak atau hancur, misalnya setelah kemoterapi dan/atau radiasi untuk leukemia mieloid akut (AML), sel-sel turunan sumsum tulang dapat dimasukkan ke dalam aliran darah pasien. Di sini sel-sel yang disuntikkan dapat masuk ke dalam sumsum tulang yang terkena, berintegrasi, berkembang biak, dan memulihkan atau membangun kembali fungsi biologisnya. Setiap tahun diperkirakan terdapat 18.000 pasien membutuhkan transplantasi sumsum tulang yang berpotensi menyelamatkan jiwa di Amerika Serikat. Untuk waktu yang lama, transplantasi sumsum tulang menjadi satu-satunya metode transplantasi sel yang dapat diterapkan secara klinis. Akan tetapi, sejak tahun 1990-an, transplantasi sel telah diteliti lebih lanjut untuk digunakan dalam mengatasi berbagai patologi dan gangguan. Terapi sel menawarkan strategi baru menggunakan sel yang baru dan aktif untuk memulihkan struktur jaringan dan organ yang sebelumnya rusak. Dengan demikian, belakangan ini, terapi sel dianggap penting dalam pengobatan penyakit manusia.
Prosedur Transplantasi
Transplantasi sel punca dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu transvaskular melalui infus arteri intrakoroner dan infus intravena, serta injeksi langsung ke dinding ventrikel melalui injeksi transendokardium, transepikardium dan trans vena koronaria.
Cara transvaskular melalui infus arteri intrakoroner dilakukan menggunakan percutaneous transluminal coronary catheter. Sel-sel punca sumsum tulang dimasukkan melalui arteri kornoaria dan dapat mencapai konsentrasi maksimum di daerah infark dan sekitarnya. Sel-sel dapat melakukan homing pada daerah yang berbatasan dengan infark secara homogen. Sementara itu, melalui penyuntikan intravena, tidak diperlukan tindakan operasi atau kateterisasi. Hal ini bisa dilaksanakan bila sel punca mempunyai mekanisme homing yang efektif sehingga sel-sel ini dapat terkumpul di daerah infark. Faktor lingkungan mikro, ekspresi matriks dan molekul adhesi oleh jaringan yang cedera, homing receptors dan berbagai faktor yang berkaitan dengan migrasi diduga terlibat dalam mekanisme homing. Walaupun demikian adanya homing sel-sel ini ke organ lainnya dapat membatasi jumlah sel yang mencapai daerah infark.
Cara injeksi langsung ke dinding ventrikel melalui injeksi transendokardium menggunakan lebih sedikit sel untuk memperoleh implan dibandingkan pemberian intrakoroner dan intravena. Prosedur intra dan pasca operasi cukup berisiko dengan angka keberhasilan pada hewan coba 40%. Implantasi sel juga dapat dilakukan dengan menggunakan percutaneous catheter-based myocardial injection dituntun oleh maping elektromekanik. Masalah yang perlu dipertimbangkan dalam cara ini adalah terbentuknya pulau-pulau sel pada jaringan infark yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan elektrik dan tercetusnya takiaritmia ventrikel.
Efek Samping
Pasien transplantasi rentan mengalami infeksi karena mengonsumsi obat untuk mencegah penolakan organ transplantasi. Obat ini menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga dalam prosesnya pasien menjadi rentan terhadap infeksi. Infeksi dapat dibagi menjadi:
- Infeksi yang umum di masyarakat seperti influenza, virus, dan pneumonia;
- Reaktivasi infeksi laten yang sudah ada pada pasien sebelum transplantasi seperti tuberkulosis, sitomegalovarius, dan toksoplasmosis;
- Infeksi yang didapat dari organ donor seperti sitomegalovarius, infeksi jamur, infeksi virus dan bakteri lainnya;
- Infeksi oportunistik baru karena imunosupresi, seperti pneumonia, infeksi saluran kencing, infeksi graft;
- Infeksi karena transfusi, penggunaan mesin hemodialisis, dan perangkat lain, seperti infeksi aliran darah, hepatitis C, dan hepatitis B; dan
- Infeksi jangka panjang akibat imunosupresi kronis seperti infeksi virus papilloma.