Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Wabah kolera Haiti
Tanggal | Oktober 2010 – Januari 2019 |
---|---|
Lokasi | Haiti |
Koordinat | 19°06′N 72°20′W / 19.100°N 72.333°W / 19.100; -72.333Koordinat: 19°06′N 72°20′W / 19.100°N 72.333°W / 19.100; -72.333 |
Penyebab | Dugaan kontaminasi oleh pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa. |
Korban | |
10.300 meninggal (seluruh negara) | |
Haiti 9.794 meninggal (28 Desember 2017) Republik Dominika 503 meninggal (28 Desember 2017) Kuba 3 meninggal (18 Oktober 2013) Meksiko 1 meninggal (18 Oktober 2013) Kasus: Kasus tercatat di: |
Wabah kolera Haiti adalah wabah kolera skala besar modern pertama, sebuah penyakit yang sempat dianggap telah ditekan karena penemuan sanitasi modern. Penyakit tersebut muncul di Haiti pada Oktober 2010, tak lama seusai gempa bumi setahun sebelumnya. Sejak itu, kolera menyebar ke seluruh belahan Haiti dan menjadi endemik, menyebabkan tingkat penularan dan kematian yang tinggi. Sekitar 800.000 orang Haiti terinfeksi kolera, dan lebih dari 9.000 orang meninggal, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Walaupun awalnya terdapat upaya untuk menyembunyikan sumber wabah, berkat upaya penyelidikan jurnalis Jonathan M. Katz dan epidemiolog Renaud Piarroux, diketahui bahwa kolera dibawa ke Haiti oleh pasukan penjaga perdamaian PBB dari Nepal.
Latar belakang
Pada bulan Januari 2010, gempa berkekuatan 7.0 skala richter mengguncang Haiti, merenggut lebih dari 200,000 korban jiwa dan selanjutnya menghancurkan infrastruktur sarana sanitasi dan kesehatan di negara tersebut. Karena bencana tersebut, pekerja-pekerja internasional dari berbagai negara tiba di Haiti untuk membantu upaya-upaya tanggap darurat dan pemulihan, termasuk sejumlah pekerja dari negara yang dilanda endemi. Sebelum terjadinya wabah, tidak ada kasus kolera yang teridentifikasi di Haiti dalam kurun waktu lebih dari satu abad terakhir dan secara keseluruhan, wilayah Karibia tidak terpengaruh karena wabah kolera yang berasal dari Peru pada tahun 1991. Penduduk yang belum pernah terpapar sebelumnya dan kurangnya imunitas membuat wabah ini bertambah parah.
Wabah
Kolera disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae yang bila tertelan dapat menyebabkan diare dan muntah dalam beberapa jam hingga 2-3 hari. Tanpa perawatan yang tepat termasuk rehidrasi oral, kolera dapat berakibat fatal. Dugaan sumber Vibrio cholerae di Haiti berasal dari sungai Artibonite, di mana hampir sebagian besar orang yang terdampak, mengkonsumsi air dari sungai tersebut. Setiap tahun, puluhan ribu warga Haiti mandi, mencuci pakaian dan peralatan makan, mendapatkan air minum dan berwisata di sungai ini, sehingga mengakibatkan tingginya tingkat paparan bakteri Vibrio cholerae.
Wabah kolera di mulai sejak sepuluh bulan setelah gempa yang terjadi pada bulan Januari 2010, yang membuat beberapa pengamat salah menduga bahwa hal tersebut sebagai akibat dari bencana alam. Namun, timbul kecurigaan warga Haiti atas pangkalan pasukan penjaga perdamaian PBB, tempat tinggal dari pasukan penjaga perdamaian negara Nepal, yang berlokasi di anak sungai Artibonite. Para petani yang dekat lokasi pangkalan, melaporkan bau kotoran manusia yang sangat menyengat datang dari pangkalan tersebut, karena pada saat itu warga setempat mendapatkan air minum dari aliran sungai dekat dengan pangkalan tersebut berada. Menanggapi hal tersebut, para pejabat Misi PPB di Haiti (MINUSTAH) merilis pernyataan pers yang menyangkal kemungkinan bahwa pangkalan tersebut menjadi penyebab epidemi, dengan beralasan standar sanitasi yang ketat. Hari berikutnya, tanggal 27 Oktober 2010, seorang koresponden Associated Press (AP) yang bernama Jonathan M. Katz, mengunjungi pangkalan tersebut dan menemukan ketidak cocokan yang mencolok antara penyataan pers dengan kondisi sebenarnya. Jonathan M. Katz juga hadir saat polisi militer PBB mengambil sampel air tanah untuk pengujian terhadap kolera, meskipun PBB menegaskan bahwa mereka tidak khawatir atas kemungkinan kaitan antara wabah dengan penjaga perdamaian. Warga sekitar juga menyampaikan kepada reporter bahwa limbah dari pangkalan tersebut sering di buang ke sungai. Kemudian di hari yang sama, seorang awak media dari Al Jazeera English termasuk reporter Sebastian Walker, merekam film para tentara yang mencoba memperbaiki pipa yang bocor, lalu hasil video tersebut di muat secara daring keesokan harinya dan mengutip laporan AP, meningkatkan kesadaran pangkalan. Juru bicara MINUSTAH kemudian berpendapat bahwa sampel yang diambil dari pangkalan, terbukti negatif kolera. Namun, investigasi AP menunjukkan bahwa uji laboratorium tersebut dilakukan dengan cara tidak tepat di Republik Dominika, yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam melakukan pengujian kolera.
Selama tiga bulan, para pejabat PBB, CDC dan pihak lain berdebat tentang investigasi sumber wabah. Juru bicara WHO Gregory Hartl, mengatakan bahwa menemukan sumber penyebab wabah adalah "tidak penting". Ia juga mengatakan "Saat ini, tidak ada investigasi aktif. Saya tidak dapat mengatakan satu atau dengan cara lain [jika akan ada]. Itu bukanlah sesuatu yang kita pikirkan sekarang ini. Yang kita pikirkan adalah tanggap kesehatan masyarakat di Haiti". Seorang pimpinan Epidemiologi di CDC yang bernama Jordan Tappero, mengatakan bahwa tugas utamanya adalah untuk mengendalikan wabah, bukan untuk melihat sumber bakteri dan bahwa "kita mungkin tidak akan pernah tahu dari mana asal sebenarnya strain kolera ini". Kathryn Harben, juru bicara CDC menambahkan bahwa "pada suatu saat di masa yang akan datang, ketika banyak analisis yang berbeda dari strain kolera tersebut telah lengkap, akan dimungkinkan untuk mengidentifikasi dari mana asal strain kolera yang menyebabkan wabah di Haiti.
Paul Farmer, salah seorang pendiri organisasi nirlaba medis "Partners In Health" dan seorang pejabat PBB yang mengatakan kepada reporter AP Jonathan M. Katz tanggal 3 November 2010 bahwa tidak ada alasan untuk menunggu. Paul Farmer menyatakan "Pemikiran bahwa kita tidak pernah tahu sepertinya sangat tidak mungkin. Pasti ada suatu cara untuk mengetahui hal yang sebenarnya tanpa harus menuduh pihak-pihak tertentu". John Mekalanos, seorang pakar kolera mendukung penegasan bahwa adalah penting untuk mengetahui di mana dan bagaimana penyakit tersebut muncul karena strain kolera tesebut adalah "baru, strain ganas yang sebelumnya tidak pernah diketahui di belahan bumi bagian barat dan para pejabat kesehatan perlu mengetahui bagaimana strain tersebut bisa menyebar".
Beberapa profesor di Amerika tidak setuju dengan pertentangan bahwa pasukan negara Nepal yang menyebabkan wabah tersebut. Beberapa orang mengatakan bahwa sepertinya bakteri kolera yang tadinya tidak aktif, namun menjadi aktif kembali setelah berbagai insiden terjadi di Haiti. Sebelum mempelajari kasus tersebut, mereka mengatakan rentetan kejadian, termasuk perubahan cuaca yang di picu oleh pola iklim La Niña dan kondisi lingkungan hidup yang tidak sehat bagi pengungsi yang terdampak bencana alam gempa bumi, memicu bakteri yang telah ada di tanah dan air, berkembang biak dan menginfeksi manusia.
Namun, sebuah penelitian yang di ungkap pada bulan Desember dan dilakukan oleh seorang epidemiolog Prancis Renaud Piarroux, berpendapat bahwa penyebab wabah tersebut bukanlah faktor-faktor lingkungan, namun pasukan PBB dari Nepal, karena pembuangan limbah dari pangkalan yang mengalir ke sungai Artibonite. Sebuah penelitian terpisah di publikasikan pada bulan Desember dalam New England Journal of Medicine yang menyajikan urutan data DNA kolera Haiti, menemukan bahwa kolera tersebut dekat hubungannya dengan strain kolera yang ditemukan di Bangladesh pada tahun 2012 dan 2008. Jauh dari strain kolera yang ada di Amerika Selatan. Penulis juga melaporkan, menambahkan bahwa "Epidemi Haiti kemungkinan hasil dari pengenalan, melalui aktivitas manusia tentang strain Vibrio cholerae yang bersumber dari geografis yang jauh".
Di bawah tekanan yang kuat, PPB akhirnya melunak dan mengatakan akan membentuk panel khusus (pansus) yang akan melakukan investigasi sumber strain Vibrio cholerae. Laporan pansus yang diterbitkan pada bulan Mei 2011, membenarkan bukti substansi bahwa pasukan Nepal yang membawa wabah ke Haiti. Pihak CDC Amerika menggunakan pengujian DNA untuk menguji berbagai sampel kolera dari pasien warga Haiti, untuk menentukan untaian DNA spesifik kolera yang ditemukan di Haiti. Selama investigasi wabah epidemiologi, pengujian DNA bakteri akan sangat membantu dalam mengidentifikasi sumber wabah. Hasil pengujian CDC menunjukkan bahwa strain spesifik kolera yang ditemukan dalam sampel yang diambil dari pasien warga Haiti adalah strain Vibrio cholerae serogrup O1, serotipe Ogawa, strain yang ditemukan di Asia Selatan. Strain kolera ini adalah strain endemik di Nepal, oleh karenanya mendukung kecurigaan orang-orang Haiti bahwa pasukan penjaga perdamaian Nepal adalah sumber wabah tersebut. Namun, di dalam laporan termasuk keterangan-keterangannya, penulis membatasi untuk mengatakan bahwa "pertemuan oleh keadaan" adalah penyebabnya.
Rita R. Colwell, mantan direktur NSF Amerika dan pakar perubahan iklim, masih berpendapat bahwa perubahan iklim merupakan faktor penting dalam penyebaran kolera, yang dinyatakan dalam suatu wawancara dengan berita UNEARTH bulan Agustus 2013 bahwa wabah tersebut "di picu oleh faktor-faktor yang rumit. Presipitasi dan suhu diatas rata-rata, selama tahun 2010 dan bahwa sehubungan dengan rusaknya infrastruktur sanitasi dan air bersih, dapat dianggap sebagai kontribusi wabah yang besar ini".
Pada bulan Agustus 2016, setelah Jonathan M. Katz memperoleh salinan yang bocor dari laporan oleh seorang pelapor PBB Philip Alston,Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, menerima tanggung jawab atas peran PBB dalam wabah awal dan menyatakan bahwa "serangkaian tindakan baru PBB" akan diperlukan untuk membantu memecahkan masalah. Pada tahun 2017, Jonathan M. Katz juga mengungkap keberadaan surat elektronik (email) yang menunjukkan bahwa "para pejabat tinggi di Pemerintahan AS segera menyadari bahwa pasukan PBB sepertinya berperan dalam wabah tersebut". Jonathan M. Katz melaporkan bahwa email-email tersebut menunjukkan "berbagai Badan Federal dari pejabat Keamanan Nasional hingga ilmuwan di garis depan, menjadi tameng PBB dari akuntabilitas untuk melindungi organisasinya dan mereka sendiri".
Reaksi
Pada permulaan wabah, terjadi kepanikan yang menyebar tentang ganasnya penyakit dan penyangkalan PBB atas kesalahan tersebut, mengakibatkan meningkatnya ketegangan antara PBB dan masyarakat Haiti. Pada tanggal 15 November 2010, pecah kerusuhan yang terjadi di Cap-Haïtien, setelah kematian seorang pemuda Haiti di dalam markas PBB di Cap-Haïtien dan rumor yang berkembang bahwa wabah tersebut disebabkan oleh pasukan PBB dari Nepal. Para pengunjuk rasa menuntut pasukan PBB dari Nepal harus pergi dari Haiti. Setidaknya lima orang tewas dalam kerusuhan tersebut, termasuk satu orang anggota PBB. Kerusuhan terus berlanjut hingga hari kedua. Setelah kerusuhan, PBB melanjutkan posisinya bahwa pasukan dari Nepal tidak dapat disalahkan dan tepatnya mengatakan bahwa kerusuhan tersebut dilakukan dengan "alasan politis karena pemilu yang akan datang", sebagaimana Pemerintah Haiti sendiri yang mengirim pasukannya untuk "memprotes" pasukan penjaga perdamaian PBB. Menurut seorang penulis, daripada menghadapi kesimpulan yang tidak dapat dihindari bahwa PBB memang penyebabnya, "Organisasi kemanusiaan terkemuka di dunia terus berdalih". Selama kerusuhan hari ketiga, anggota PBB disalahkan atas penembakan setidaknya lima orang pengunjuk rasa, namun menolak bertanggung jawab. Pada hari keempat unjuk rasa atas kehadiran PBB, polisi menembakkan gas air mata ke tenda pengungsi di ibu kota.
Wabah kolera menjadi persoalan yang harus dijawab oleh calon-calon yang maju pada pemilihan umum Haiti tahun 2010. Terdapat kekhawatiran bahwa pemilihan umum akan di tunda. Kepala MINUSTAH, Edmond Mulet mengatakan bahwa tidak perlu penundaan karena akan menyebabkan kekosongan politik dengan potensi masalah yang besar.
Pada bulan November 2011, PBB menerima petisi dari 5.000 korban untuk ganti rugi ratusan ribu dolar Amerika atas wabah yang diduga disebabkan oleh anggota PBB MINUSTAH. Bulan Februari 2013, PBB menanggapi dengan permintaan atas kekebalannya dari tuntutan hukum di bawah "Konvensi Hak Istimewa dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa". Pada tanggal 9 Oktober 2013, lembaga Bureau des Avocats Internationaux (BAI), organisasi nirlaba Institute for Justice & Democracy in Haiti (IJDH) dan pengacara hak sipil Ira Kurzban dari firma hukum "Kurzban Kurzban Weinger Tetzeli & Pratt, P.A." (KKWT) mengajukan gugatan terhadap PBB di Pengadilan Distrik Selatan New York. Gugatan tersebut dibatalkan, namun gugatan banding diajukan pada pengadilan kedua. Pada bulan Oktober 2016, Pengadilan kedua banding tersebut, menguatkan PBB atas kekebalan dari gugatan hukum. Pada tanggal 1 Maret 2014, gugatan kedua dilayangkan, Laventure v. United Nations, di Distrik Timur New York, atas nama lebih dari 1.500 korban bencana. Dalam sebuah opini di The Wall Street Journal seorang pengacara penggugat menulis:
"Bayangkan jika PBB membunuh ribuan orang di jalan-jalan New York atau London atau Paris. Dan membuat lebih dari satu juta orang sakit. Apakah PBB akan mengklaim tidak bertanggung jawab? Tentu saja tidak. Masyarakat internasional tidak akan mengizinkannya".
Seorang pengacara utama untuk penggugat juga mencatat bahwa gugatan tersebut berbeda dari gugatan yang diajukan oleh IJDH, dengan tuduhan bahwa tanggung jawab telah diterima oleh PBB pada tahun 1990-an. Pengacara tersebut menyatakan bahwa kekebalan: "tidak boleh menjadi tameng untuk bersembunyi karena PBB (atau Pemerintah AS) tidak menyukai 'label' yang disertai oleh kelalaian besar PBB yang tidak dapat disangkal dalam kasus ini".
Kasus ini pun, juga dibatalkan oleh pengadilan Distrik AS dan pengadilan banding. Banding juga diajukan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 2016, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, akhirnya meminta maaf atas nama PBB, mengatakan bahwa ia "sangat menyesal" atas wabah tersebut. Ban Ki-moon juga berjanji untuk mengirimkan bantuan sebesar US$ 400 juta dalam rangka membantu korban dan memperbaiki sistem sanitasi dan air bersih negara tersebut yang porak-poranda. PBB hanya berhasil dengan dua persen dari nilai tersebut hingga bulan Maret 2017.
Morbiditas dan mortalitas
Domestik
Pada tanggal 21 Oktober 2010, Kementerian Kesehatan Masyarakat dan Kependudukan Haiti (MSPP), mengkonfirmasi kasus pertama kolera di Haiti dalam satu abad lebih. Wabah bermula di wilayah Pedesaan Departemen Centre Haiti, sekitar 100 kilometer utara ibu kota Port-au-Prince. Dalam kurun waktu 10 minggu pertama epidemi, kolera menyebar ke seluruh 10 Departemen atau Provinsi. Wabah tersebut menewaskan 4.672 orang pada bulan Maret 2011 dan menyebabkan seribu orang lebih dirawat di rumah sakit. Wabah di Haiti adalah wabah terparah dalam sejarah, sebelum tahun 2010. WHO melaporkan bahwa dari tahun 2010 hingga 2011, wabah Haiti terhitung 57% dari semua kasus dan 45% dari semua kematian yang diakibatkan karena kolera di seluruh dunia.
Ketika wabah mulai muncul pada bulan Oktober 2010, lebih dari 6% warga Haiti terserang penyakit tersebut. Insiden tertinggi kolera terjadi pada tahun 2011 segera setelah penyebaran paparan utama. Tingkat penyebaran kemudian menurun setelahnya, dengan lonjakan yang disebabkan oleh musim penghujan dan badai. Sebagaimana yang dilaporkan oleh MSPP per Agustus 2012, wabah tersebut menyebabkan 586.625 kasus dan 7.490 kematian. Menurut Organisasi Kesehatan Pan Amerika (Pan American Health Organization atau PAHO), per tanggal 21 November 2013, terdapat 689.448 kasus kolera di Haiti yang menyebabkan 8.448 kematian. Walaupun telah terjadi penurunan kasus pada 2014, pada musim penghujan bulan Agustus 2015, terjadi lonjakan kasus kembali. Pada saat itu lebih dari 700.000 orang warga Haiti terjangkit penyakit tersebut dengan jumlah kematian yang mencapai 9.000 orang. Hingga bulan Maret 2017, sekitar 7% dari populasi Haiti (sekitar 800.665 orang) telah terjangkit kolera dan 9.480 penduduknya meninggal. Laporan epidemi terakhir oleh WHO pada tahun 2018 mengindikasikan 812.586 kasus kolera di Haiti sejak Oktober 2010, yang mengakibatkan kematian 9.606 orang.
Namun, survey serologis mengindikasikan bahwa sejumlah besar penderita mungkin tidak terdiagnosis, sementara hanya 18% dari 2.500 lebih responden di masyarakat pedesaan yang melaporkan diagnosis kolera dan 64% memiliki antibodi terhadap kolera.
Internasional
Kasus kolera pertama yang dilaporkan di Republik Dominika pada pertengahan November 2010, mengikuti prediksi Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO). Pada bulan Januari 2011, Republik Dominika melaporkan 244 kasus kolera. Korban pertama yang meninggal karena kolera di negara tersebut, tanggal 23 Januari 2011 dari Provinsi Altagracia. Republik Dominika sangat rentan terhadap penyebaran penyakit kolera, karena berbagi perbatasan dengan Haiti dan banyak penduduk yang mengungsi ke negara tersebut setelah bencana gempa melanda Haiti tahun 2010. Berdasarkan laporan epidemiologi WHO pada 2018, secara total terdapat 33.188 kasus kolera di Republik Dominika dan 504 kematian.
Pada akhir Januari 2011, dilaporkan lebih dari 20 warga Venezuela dilarikan ke rumah sakit karena tertular kolera setelah mengunjungi Republik Dominika dari total 37 kasus yang dilaporkan negara tersebut. Makanan yang terkontaminasi dianggap sebagai penyebar penyakit. Menteri Kesehatan Venezuela, Eugenia Sader memberikan konferensi pers yang di siarkan oleh stasiun TV Pemerintah Venezolana de Televisión (VTV) di mana ia memberikan pernyataan bahwa semua 37 orang tersebut dalam keadaan "baik-baik". Eugenia Sader telah mempelajari sebelumnya, bahwa kolera terakhir tercatat dilaporkan pada tahun 1991.
Pada akhir Juni 2012, Cuba mengkorfimasi 3 kematian dan 53 kasus kolera di Manzanillo, dan tahun 2013, terdapat 51 kasus kolera dilaporkan di Havana.Universitas Florida mendesak agar dilakukan vaksinasi setengah dari jumlah penduduk untuk menghentikan epidemi.
Kerentanan
Infrastruktur
Sebelum terjadinya wabah, infrastruktur sanitasi dan sarana kesehatan publik, relatif buruk di Haiti. Pada tahun 2012, Haiti menduduki peringkat 147 dari 147 negara dengan ketersediaan air bersih (Water security). Pada tahun 2008, 37% penduduk Haiti tidak memiliki akses terhadap air minum yang memadai dan 83% tidak memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Oleh karenanya, keluarga-keluarga di sana sering mendapatkan air dari sumber alami seperti sungai yang mungkin terkontaminasi dengan Vibrio cholerae. Sarana infrastruktur sanitasi yang buruk, memungkinkan bakteri kolera masuk kedalam saluran air tersebut. Orang-orang kemudian tertular melalui transmisi fekal–oral ketika air tersebut digunakan untuk minum dan memasak dengan kebersihan yang buruk, sehingga menyebabkan penyebaran kolera melalui rumah tangga atau masyarakat. Terdapat pula kondisi dengan kurangnya tenaga perawat kesehatan dan rumah sakit tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk merawat pasien-pasien yang terjangkit kolera.
Fisiologi
Malnutrisi penduduk, kondisi lain yang telah ada sebelumnya bahwa Haiti telah porak-poranda oleh gempa bumi, membuat wabah semakin merajalela. Penelitian dari wabah sebelumnya, menunjukkan bahwa jangka waktu penyembuhan diare akan semakin lama hingga 70% bagi individu yang menderita malnutrisi parah. Selain itu, penduduk Haiti tidak memiliki imunitas biologis terhadap strain bakteri tersebut karena mereka tidak pernah terjangkit sebelumnya. Oleh karenanya, faktor-faktor fisiologis termasuk malnutrisi dan kurangnya kekebalan yang memungkinkan kolera dapat menyebar dengan cepat ke penjuru negeri.
Informasi
Kurangnya informasi dan terbatasnya akses ke beberapa wilayah pedesaan juga menjadi hambatan dalam penanganan wabah tersebut. Beberapa lembaga bantuan telah melaporkan bahwa angka mortalitas dan morbiditas sesungguhnya mungkin lebih tinggi daripada angka resmi yang dilaporkan, karena Pemerintah tidak melacak jumlah kematian di wilayah pedesaan di mana warga pedesaan tidak dapat menjangkau rumah sakit atau pusat fasilitas kesehatan darurat. Keterbatasan-keterbatasan akses data berasal dari kurangnya infrastruktur pengawasan dan laboratorium sebelum terjadinya wabah, untuk menguji sampel secara benar dan diagnosis kasus. Haiti ditugaskan untuk mengembangkan sistem pengawasan dan laboratorium-laboratorium setelah gempa bumi tahun 2010 dan wabah kolera, yang menyebabkan kesulitan-kesulitan atas pelacakan perkembangan dan skala wabah. Karena kurangnya pengawasan yang layak, banyak data laporan yang tidak mencerminkan hal yang sesungguhnya dan berpotensi untuk diabaikan. selain itu, karena kurangnya konfirmasi laboratorium untuk sebagian besar kasus kolera, terdapat kemungkinan bahwa penyakit diare lainnya di tafsirkan secara keliru sebagai kolera.
Lingkungan
Musim penghujan dan badai terus menyebabkan lonjakan sementara dari wabah kolera dalam insiden jumlah kasus dan tingkat kematian. Lebih jauh lagi, sebagai akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim, Haiti menghadapi peningkatan risiko penularan kolera. Panel Antar Pemerintah dalam Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) menyatakan bahwa tingkat pemanasan global antara 1,5 hingga 2oC kemungkinan akan mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam dan peristiwa cuaca ekstrem. Negara-negara dengan minim sumber daya cenderung lebih terpengaruh dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju dan aman secara ekonomi.
Faktor-faktor lingkungan seperti peningkatan suhu, peristiwa cuaca buruk dan bencana alam, dampaknya akan dua kali lipat dari potensi penyebaran kolera di Haiti:
- Dengan kondisi lingkungan dan cuaca yang mendukung untuk pertumbuhan persisten dari bakteri Vibrio cholerae.
- Bencana alam yang menghancurkan sarana dan prasarana infrastruktur serta membebani kesehatan masyarakat dan sumber daya fasilitas kesehatan.
Sebuah penelitian mendalam tentang faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran wabah kolera di Haiti, menyebut suhu udara diatas rata-rata setelah gempa bumi, "anomali tingginya curah hujan" dari bulan September-Oktober 2010 dan rusaknya sarana infrastruktur sanitasi dan air bersih yang terbatas, sepertinya akan menjadi titik temu untuk menciptakan kondisi yang mendukung dalam penyebaran wabah kolera.
Tantangan dan solusi pemberantasan
Ratusan ribu dolar telah didedikasikan untuk memberantas wabah kolera di Haiti sejak awal kemunculannya pada tahun 2010, namun kondisi yang tidak bersih dan faktor iklim yang memungkinkan penularan kolera terus berlanjut. Sementara jumlah kasus baru kolera telah berkurang secara drastis sejak tahun 2010 dan saat ini merupakan yang terendah sejak permulaan wabah. Tingkat kasusnya tetap berada di posisi 25,5 kasus per 100.000 penduduk (per Oktober 2018). Dari waktu ke waktu, terdapat perkembangan yang signifikan dalam pengurangan jumlah kasus dan angka kematian secara keseluruhan. Menurut salah satu laporan PAHO/WHO, "tingkat kasus kematian kumulatif (CFR) tetap sekitar 1% sejak 2011".
Setelah mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon menerima pertanggung jawaban PBB atas permulaan wabah kolera di Haiti bulan Desember 2016, Ban Ki-Moon memperhitungkan dana yang diperlukan sebesar US$ 400 juta selama kurun waktu dua tahun dalam rangka memberantas habis wabah kolera di Haiti. Pemerintah Haiti berdedikasi untuk memberantas habis wabah kolera pada tahun 2022 sebagaimana yang disajikan dalam Rencana Pemberantasan Kolera (Cholera Elimination Plan atau PNEC) 2013-2022. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, penerus Ban Ki-Moon mengambil tanggung jawab untuk membantu Haiti dalam pemberantasan wabah kolera saat menjabat pada tanggal 31 Desember 2016. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sasaran Strategis 2 dari Rencana Revisi Kemanusiaan Haiti 2017-2018. Sasaran Strategis 2 menafsirkan, "menyelamatkan nyawa dari epidemi - mengurangi mortalitas dan morbiditas karena wabah kolera dan penyakit yang bersumber dari air melalui pengurangan tingkat kerentanan, meningkatkan pengawasan epidemi dan memastikan tanggap darurat yang efektif". Rencana Revisi Kemanusiaan Haiti 2017-2018 mengidentifikasi 1,9 juta orang memerlukan bantuan perlindungan dari penyakit kolera, di mana 1,5 juta orang diantaranya di targetkan melalui program pemberantasan senilai US$ 21,7 juta.
Tantangan
Krisis berkepanjangan: Badai Matius 2016
Tantangan pertama dalam pemberantasan kolera di Haiti adalah kondisi negara tersebut yang rentan terhadap bencana, yang mengakibatkan Haiti dalam kondisi krisis yang berkepanjangan. Puncak kasus kolera terjadi pada tahun 2011 dengan 352.000 kasus baru setelah kemunculannya pertama kali pada akhir 2010. Kasus kolera secara bertahap menurun hingga tahun 2016 kemudian terdapat lonjakan kembali penularan kasus setelah dihantam Badai Matius di Haiti 2-5 Oktober 2016. Penularan kasus melonjak dari 32.000 kasus baru pada 2015 menjadi 42.000 kasus baru pada 2016. Dengan hancurnya (kembali) sarana infrastruktur sanitasi dan air bersih karena Badai Matius, memungkinkan wabah kolera muncul kembali.
Pendanaan
Sementara Pemerintah Haiti memiliki Rencana Pemberantasan Kolera (PNEC) 2013-2022 dan pendekatan sistem PBB yang baru mengenai kolera di Haiti (liat solusi di bawah untuk informasi selanjutnya) menjabarkan rencana untuk pemberantasan kolera di Haiti pada 2022, hal ini bergantung sepenuhnya kepada pendanaan. Dalam catatan mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon tertanggal 5 Desember 2016 yang menyatakan "Tanpa keinginan politik dan dukungan finansial dari anggota-anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, kita hanya memiliki niat baik dan kata-kata. Kata-kata sangat berkuasa, namun tidak dapat menggantikan tindakan dan dukungan materi".
Hingga tahun 2017, pendanaan untuk kolera dalam kondisi yang berisiko karena meningkatkan kerawanan pangan dan kebutuhan tempat tinggal bagi pengungsi Haiti yang kembali dari Republik Dominika. Dalam Rencana Revisi Kemanusiaan Haiti 2017-2018, kebutuhan pendanaan bagi program penanganan kolera dengan tiga yang terbesar yakni US$ 21,7 juta, disamping US$ 76,6 juta untuk ketahanan pangan dan US$ 103,8 juta untuk kebutuhan tempat tinggal.
Solusi
Program vaksinasi
Pada tahun 2013, Pemerintah Haiti meluncurkan program kegiatan vaksinasi kolera oral (OCV) dalam dua wilayah, yakni di Cerca Carvajal dan Petite Anse. Wilayah-wilayah tersebut dipilih karena pertimbangan tingkat penyebaran yang tinggi, infrastruktur sanitasi dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Usaha vaksinasi ini agak sedikit kontroversial karena panduan WHO pada saat itu tidak menganjurkan vaksinasi massal pada wilayah-wilayah yang telah terdampak wabah. Sebelum terjadinya wabah pada tahun 2010, program vaksinasi dianggap untuk mengurangi dari tindakan pencegahan yang lebih penting seperti pengolahan air bersih dan kebersihan yang baik. Tingkat keberhasilan relatif (hingga 65% atau lebih dari efektifitas perlindungan lima tahun setelah vaksinasi) Dalam program vaksinasi baru-baru ini di Haiti dan negara-negara yang dipengaruhi kolera lainnya, mengakibatkan proggram penggunaan OCV secara luas dan mengubah panduan WHO untuk mendorong penggunaan vaksin selain sebagai strategi pencegahan dan pengobatan lainnya.
Pendekatan PBB
Pada akhir tahun 2016, mantan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon memaparkan "Pendekatan baru PBB untuk Kolera di Haiti". pendekatan dua trek ini menandai penerimaan PBB atas tanggung jawab dari permulaan kolera di Haiti dan menunjukkan komitmen untuk pemberantasan penyakit tersebut di Haiti. Sejak pengakuan kesalahan pada 2016, koordinasi dan niat baik antara Pemerintah Haiti dengan PBB semakin erat, yang menghasilkan langkah besar untuk bersama-sama memberantas kolera. Dalam laporan Rencana Revisi Kemanusiaan Haiti 2017-2018, "Per tanggal 31 Desember 2017, terdapat 13.682 dugaan kasus kolera dengan 150 kematian terdaftar pada tahun 2017, dibandingkan dengan 41.955 kasus dan 451 kematian dalam periode yang sama tahun 2016, penurunan sebesar 67% dari kedua kasus tersebut".
Trek 1
Trek 1 dari "Pendekatan baru PBB untuk Kolera di Haiti" bertujuan untuk "meningkatkan upaya-upaya untuk tanggap dan mengurangi insiden kolera di Haiti" melalui tiga proyek utama. Pertama adalah untuk memperkuat dan mendukung kerangka kerja tanggap darurat yang di kembangkan oleh Pemerintah Haiti yang akan diterapkan kepada masyarakat yang diduga menderita kolera dalam 48 jam. Terdapat 13 tim tanggap darurat yang dipimpin oleh Pemerintah dan 60 tim bergerak dari tokoh-tokoh kemanusiaan yang mendukung tim tanggap darurat. Tujuan tim tanggap darurat adalah untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit kolera dengan membuat pembatas yang disebut dengan Cordon sanitaire dan melakukan penyelidikan sumber-sumber kolera dari tingkat rumah tangga. Penyelidikan ini di gabungkan dengan edukasi dan peningkatan kesadaran tentang tindakan pencegahan penyakit dan menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan (profilaksis). Jika ditemukan suatu wabah, maka titik-titik klorinasi air sementara, dipasang di sumber-sumber air masyarakat. Orang yang pernah dirawat karena kolera, lalu di rekrut menjadi tim Keterlibatan Masyarakat dan Kesadaran Kebersihan (Community Engagement & Hygiene Awareness atau CEHA) oleh tim tanggap darurat. Tim CEHA kembali ke daerah masing-masing untuk kemudian memberikan sosialisasi dan edukasi tentang bagaimana memutus mata rantai penyebaran dan membantu Pemerintah dalam mengawasi sumber-sumber air.
Proyek kedua dari trek 1 ini adalah untuk melanjutkan dukungan kegiatan OCV sebagai tindakan pencegahan. Pada tahun 2018, kegiatan OCV akan difokuskan kepada Departemen-departemen dengan tingkat kejadian penyakit tertinggi, terutama di Artibonite dan Departemen Centre.
Tujuan akhir dari trek 1 ini adalah untuk "lebih efektif menangani... masalah jangka menengah/panjang dari sistem sanitasi, air dan kesehatan". Gempa bumi tahun 2010 dan selanjutnya wabah/epidemi kolera yang diketahui masyarakat internasional betapa rentannya sarana sanitasi, air dan infrastruktur kesehatan di Haiti. Kolera dan penyakit lain dari sumber air akan terus beredar di Haiti selama sebagian besar penduduk tidak memiliki akses ke fasilitas air bersih dan sanitasi yang lebih baik. Sebagai bagian dari "Cara Kerja Baru" PBB yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan pembangunan dan kemanusiaan, PBB akan bekerja dengan lembaga pembangunan utama termasuk Bank Dunia dan Bank Pembangunan Internasional untuk mengatasi kondisi infrastruktur yang rentan sehingga membuat Haiti menghadapi risiko krisis yang berlarut-larut.
Trek 2
Trek kedua dari "Pendekatan baru PBB untuk Kolera di Haiti" mengusulkan untuk memberikan bantuan materi kepada individu dan keluarga yang paling terdampak oleh kolera. Paket bantuan materi adalah upaya PBB untuk ganti rugi, setelah menerima tanggung jawab atas berawalnya kolera di Haiti. Laporan PBB, "hampir 800.000 orang Haiti telah terjangkit kolera sejak 2010 [per 2016] dan lebih dari 9.000 meninggal".
Pembaruan 2020 Bulan Januari 2020 menandai peringatan 10 tahun gempa bumi dahsyat di Haiti. Selain itu, ribuan nyawa telah terjangkit wabah kolera yang dibawa oleh pasukan penjaga perdamaian PBB dari Nepal. Diperkirakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir 820.000 kasus dan hampir 10.000 kematian telah dilaporkan pada tanggal 18 Januari 2020.
Pada tahun 2015, Haiti memiliki lebih banyak kasus kolera yang dilaporkan per populasi dibandingkan negara lain dan tahun 2016, Badai Matius menambahkan persoalan baru dalam upaya mengatasi penderitaan Haiti karena terjangkit wabah Kolera. Pada tahun yang sama, PBB meminta maaf kepada rakyat Haiti atas epidemi tersebut, setelah studi ilmiah menghubungkan epidemi kolera dengan penjaga perdamaian PBB yang tidak diskrining atas penyakit tersebut sebelum kedatangan mereka di Haiti setelah gempa bumi. PBB berjanji untuk menyediakan US$ 400 juta dalam dua tahun untuk mengimplementasikan "Trek 1" dan "Trek 2" yang bertujuan untuk menyediakan sanitasi, air bersih dan meningkatkan akses ke fasilitas kesehatan dan bantuan materi bagi Haiti yang terjangkit epidemi kolera. Namun, hingga saat ini hanya US$ 21 juta yang telah dikumpulkan dan US$ 3 juta telah digunakan.
Sementara hingga saat ini hanya 5% dari dana untuk trek ini yang telah dikumpulkan oleh PBB, lembaga nirlaba lain dan Pemerintah Haiti dalam rangka upaya kemanusiaan, kasus baru kolera telah menurun drastis dalam 5 tahun terakhir. Serangkaian penelitian sejak tahun 2013 hingga 2016 membuktikan bahwa kombinasi klorin dan vaksinasi kolera dapat memberantas kolera di salah satu daerah termiskin di Haiti. Setelah Badai Matius melanda tahun 2016, WHO dan mitra teknis lainnya mengembangkan tim untuk menyelidiki skala wabah kolera. Lalu pada bulan Oktober 2016, MSPP meminta dan menerima 1 juta dosis vaksin kolera oral, yang sebagian didanai oleh Gavi, aliansi vaksin. WHO dan mitra lainnya termasuk UNICEF, International Medical Corps, Palang Merah dan Gavi, tim aliansi vaksin menjangkau lebih dari 729.000 orang yang paling terdampak oleh Badai Matius. Upaya pemerintah Haiti dan bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung, terus menurunkan jumlah kasus kolera di Haiti. Pada 2018 hanya 3700 kasus kolera dan 41 kematian dilaporkan dari 90% Departemen di Haiti. Kemudian tahun 2019, PBB mengumumkan bahwa Haiti telah bebas dari kolera selama satu tahun, dengan kasus terkonfirmasi terakhir dilaporkan terjadi di Artibonite pada bulan Januari 2019. Namun, untuk mendapatkan pengesahan bahwa kolera telah berakhir di Haiti, negara tersebut harus memelihara sistem pengawasan yang efektif dan tetap bebas kolera hingga tahun 2022.
Bacaan tambahan
- Frerichs, Ralph R. Deadly River: Cholera and Cover-Up in Post-Earthquake Haiti. Ithaca: Cornell University Press, 2016. 978-1-5017-0230-3
- Katz, Jonathan M. The Big Truck That Went By: How the World Came to Save Haiti and Left Behind a Disaster. New York: Palgrave Macmillan, 2013. ISBN 978-0230341876
- Wilentz, Amy Farewell, Fred Voodoo: A Letter from Haiti. New York: Simon & Schuster, 2013. ISBN 978-1451643978
- Pillinger, Mara; Hurd, Ian; Barnett, Michael N. (2016-03). "How to Get Away with Cholera: The UN, Haiti, and International Law". Perspectives on Politics. 14 (1): 70–86.
Pranala luar
- Centers for Disease Control page on the outbreak
- PAHO Situation Reports on the Haiti cholera outbreak
- Cholera Will Not Go Away Until Underlying Situations that Make People Vulnerable Change – video report by Democracy Now!
- Not Doing Enough: Unnecessary Sickness and Death from Cholera in Haiti, from the Center for Economic and Policy Research, August 2011
- Responding to the Cholera Emergency, in Best Practices and Lessons Learnt in Communication with Disaster Affected Communities, a infoasaid report, November 2011
- Rebuilding in Haiti Lags After Billions in Post-Quake Aid: Lofty Hopes and Hard Truths, New York Times Dec 2012
- Institute for Justice and Democracy in Haiti's cholera case with UN Diarsipkan 2016-07-07 di Wayback Machine.