Продолжая использовать сайт, вы даете свое согласие на работу с этими файлами.
Imunoterapi
Imunoterapi | |
---|---|
Intervensi | |
MeSH | D007167 |
Kode OPS-301 | 8-03 |
Imunoterapi adalah pengobatan penyakit dengan mengaktifkan atau menekan sistem imun. Imunoterapi yang dirancang untuk memperoleh atau memperkuat respons imun diklasifikasikan sebagai imunoterapi aktivasi, sedangkan imunoterapi yang mengurangi atau menekan diklasifikasikan sebagai imunoterapi penekan.
Dalam beberapa tahun terakhir, imunoterapi telah menjadi sangat menarik bagi para peneliti, dokter dan perusahaan farmasi, terutama dalam prospeknya untuk mengobati berbagai bentuk kanker.
Regimen imunomodulator sering memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada obat yang ada, termasuk lebih sedikit potensi untuk menciptakan resistensi ketika mengobati penyakit mikrob.
Imunoterapi berbasis sel efektif untuk beberapa kanker. Sel-sel efektor imun seperti limfosit, makrofag, sel dendritik, sel pembunuh alami (sel NK), limfosit T pembunuh (CTL) bekerja bersama untuk mempertahankan tubuh terhadap kanker dengan menargetkan antigen abnormal yang diekspresikan pada permukaan sel tumor.
Terapi seperti granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), interferon, imiquimod, dan fraksi membran seluler dari bakteri telah disetujui untuk penggunaan medis. Sedangkan lainnya sedang dalam uji klinis dan praklinis termasuk IL-2, IL-7, IL-12, berbagai kemokin, sitosin fosfat-guanosin sintetis (CpG) oligodeoksinukleotida dan glukan.
Imunomodulator
Imunomodulator adalah agen imunoterapi aktif. Imunomodulator adalah beragam sediaan rekombinan, sintetis, dan alami.
Kelas | Agen contoh |
---|---|
Interleukin | IL-2, IL-7, IL-12 |
Sitokin | Interferon, G-CSF |
Kemokin | CCL3, CCL26, CXCL7 |
Obat Imun Imunomodulator (IMiD) | thalidomide dan analognya (lenalidomide, pomalidomide, dan apremilast) |
Lain | sitosin fosfat-guanosin, oligodeoksinukleotida, glukan |
Imunoterapi aktivasi
Kanker
Imunoterapi kanker berupaya merangsang sistem imun untuk menghancurkan tumor. Berbagai strategi sedang digunakan atau sedang menjalani penelitian dan pengujian. Studi terkontrol secara acak pada kanker yang berbeda menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam kelangsungan hidup dan periode bebas penyakit telah dilaporkan dan kemanjurannya meningkat sebesar 20-30% ketika imunoterapi berbasis sel dikombinasikan dengan metode pengobatan konvensional.
Salah satu bentuk imunoterapi kanker tertua adalah penggunaan vaksin BCG, yang awalnya untuk vaksinasi terhadap tuberkulosis dan kemudian ditemukan bermanfaat dalam pengobatan kanker kandung kemih.
Ekstraksi limfosit G-CSF dari darah dan dibiakkan in vitro melawan antigen tumor sebelum menginjeksi kembali sel dengan sitokin stimulasi yang tepat, menunjukkan sel dapat menghancurkan sel-sel tumor yang mengekspresikan antigen. Imunoterapi topikal menggunakan krim peningkat kekebalan (imiquimod) yang menghasilkan interferon, menyebabkan sel T pembunuh penerima menghancurkan kutil, keratosis actinic, kanker sel basal, neoplasia intraepitel vagina, kanker sel skuamosa, limfoma kulit, dan melanoma ganas yang dangkal.
Imunoterapi injeksi ("intralesional" atau "intratumoral") menggunakan cacar, candida, vaksin HPV atau injeksi antigen trichophytin untuk mengobati kutil (tumor yang diinduksi HPV).
Transfer sel adoptif telah diuji pada paru-paru dan kanker lainnya, dengan keberhasilan terbesar dicapai pada melanoma.
Priming pompa berbasis sel dendritik
Sel dendritik dapat distimulasi untuk mengaktifkan respon sitotoksik terhadap antigen. Sel dendritik diambil dari orang yang membutuhkan imunoterapi. Sel-sel ini kemudian dimuati dengan antigen atau tumor lisat atau ditransfeksi dengan vektor virus, menyebabkan mereka menyajikan antigen. Setelah ditransfusikan kemabli ke orang tersebut, sel-sel yang teraktivasi ini menyajikan antigen ke limfosit efektor (sel T pembantu CD4+, sel T pembunuh CD8+, dan sel B). Hal ini memulai respons sitotoksik terhadap sel-sel tumor yang mengekspresikan antigen (yang dengannya respons adaptif kini telah diprioritaskan). Vaksin kanker Sipuleucel-T merupakan salah satu contoh dari pendekatan ini.
Transfer adoptif sel T
Transfer sel yang diadopsi secara in vitro menumbuhkan sel T yang diekstraksi secara autologus untuk transfusi selanjutnya.
Atau, sel T yang direkayasa secara genetika dibuat dengan memanen sel T dan kemudian menginfeksi sel T dengan retrovirus yang berisi salinan gen reseptor sel T (TCR) yang khusus dikenali untuk mengenali antigen tumor. Virus mengintegrasikan reseptor ke dalam genom sel T. Sel-sel dibiakkan secara tidak spesifik dan/atau distimulasi. Sel-sel tersebut kemudian diinfuskan kembali dan menghasilkan respon imun terhadap sel-sel tumor. Teknik ini telah diuji pada melanoma metastasis kambuhan dan kanker kulit lanjut
Apakah sel T direkayasa secara genetis atau tidak, sebelum diinfusi ulang, limfodeplesi penerima diperlukan untuk menghilangkan sel T regulator dan juga limfosit endogen yang tidak dimodifikasi yang bersaing dengan sel yang ditransfer untuk sitokin homeostatik. Penyelesaian limfod dapat dicapai dengan kemoterapi mieloablatif, dengan iradiasi total tubuh dapat ditambahkan untuk efek yang lebih besar. Sel-sel yang ditransfer membelah in vivo dan bertahan dalam darah perifer pada banyak orang, kadang-kadang mewakili tingkat 75% dari semua sel T CD8 + pada 6-12 bulan setelah infus. Pada 2012, uji klinis untuk melanoma metastasis sedang berlangsung di beberapa lokasi. Respon klinis terhadap transfer sel T yang teramati diamati pada pasien dengan melanoma metastatik yang kebal terhadap beberapa imunoterapi.
Terapi peningkatan kekebalan tubuh
Terapi peningkatan kekebalan secara autolog menggunakan sel pembunuh alami yang berasal dari darah seseorang, limfosit T sitotoksik, dan sel imun terkait lainnya yang telah dibiakkan in vitro dan kemudian diinfuskan kembali. Terapi ini telah diuji terhadap Hepatitis C, sindrom kelelahan kronis, dan infeksi HHV6.
Imunoterapi penekan
Penekan imun bekerja dengan menghambat respons imun yang abnormal pada penyakit autoimun atau mengurangi respons imun normal untuk mencegah penolakan organ atau sel yang ditransplantasikan.
Obat imunosupresif
Obat imunosupresif membantu mengatur transplantasi organ dan penyakit autoimun. Respons imun tergantung pada proliferasi limfosit. Obat sitostatik bersifat imunosupresif. Glukokortikoid merupakan inhibitor aktivasi limfosit yang agak lebih spesifik, sedangkan inhibitor imunofilin lebih khusus menargetkan aktivasi limfosit T. Antibodi imunosupresif menyasar langkah-langkah dalam respons imun. Obat lain yaitu memodulasi respons imun.
Toleransi kekebalan tubuh
Tubuh secara alami tidak mengerahkan serangan sistem imun pada jaringannya sendiri. Terapi toleransi imun berusaha untuk mengatur ulang sistem imun sehingga tubuh berhenti secara keliru menyerang organ atau selnya sendiri dalam penyakit autoimun atau menerima jaringan asing dalam transplantasi organ. Dengan menciptakan kekebalan akan mengurangi atau menghilangkan kebutuhan imunosupresi seumur hidup dan efek samping yang menyertai. Teknik ini telah diuji pada transplantasi dan diabetes tipe 1 atau gangguan autoimun lainnya.
Alergi
Imunoterapi digunakan untuk mengobati alergi. Sementara perawatan alergi (seperti antihistamin atau kortikosteroid) mengobati gejala alergi, imunoterapi dapat mengurangi sensitivitas terhadap alergen dam mengurangi keparahannya.
Imunoterapi dapat menghasilkan manfaat jangka panjang. Imunoterapi sebagian efektif pada beberapa orang dan tidak efektif pada orang lain, tetapi menawarkan kesempatan pada penderita alergi untuk mengurangi atau menghentikan gejala.
Terapi diindikasikan untuk orang yang sangat alergi atau yang tidak dapat menghindari alergen tertentu. Imunoterapi umumnya tidak diindikasikan untuk alergi makanan atau obat. Terapi ini sangat berguna untuk penderita rinitis alergi atau asma.
Dosis pertama mengandung sejumlah kecil alergen atau antigen. Dosis meningkat seiring waktu ketika orang menjadi peka. Teknik ini telah diuji pada bayi untuk mencegah alergi kacang.
Terapi cacing
Cacing cambuk ovum (Trichuris suis) dan cacing tambang (Necator americanus) telah diuji untuk penyakit imunologi dan alergi. Terapi cacing telah diselidiki sebagai pengobatan untuk kambuh remisi multiple sclerosis, penyakit Crohn, alergi, dan asma. Bagaimana mekanisme cacing memodulasi respon imun, tidak diketahui. Hipotesis mekanisme meliputi re-polarisasi respons Th1/Th2 dan modulasi fungsi sel dendritik. Cacing menurunkan sitokin Th1 pro-inflamasi, interleukin-12 (IL-12), Interferon-Gamma (IFN-γ), dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-ά), juga mempromosikan produksi sitokin Th2 pengatur seperti IL-10, IL-4, IL-5, dan IL-13.
Ko-evolusi dengan cacing telah membentuk beberapa gen yang terkait dengan ekspresi interleukin dan gangguan imunologis, seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit seliak. Hubungan cacing dengan manusia sebagai inang harus diklasifikasikan sebagai mutualistik atau simbiotik.